Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, yang artinya,
"Rasulullah saw. bersabda, 'Tidaklah seorang pezina itu berzina sedang
ia dalam keadaan Mukmin. Tidaklah seorang peminum khamr itu meminum
khamr sedang ia dalam keadaan Mukmin. Tidaklah seorang pencuri itu
mencuri sedang ia dalam keadaan Mukmin. Dan tidaklah seorang perampok
itu merampok dengan disaksikan oleh manusia sedang ia dalam keadaan
Mukmin'." (HR Bukhari [2475] dan Muslim [57]). Dalam riwayat lain
ditambahkan, "Tinggalkanlah perbuatan itu, tinggalkanlah perbuatan itu!"
(HR Muslim [57] dan [103]). Dalam riwayat lain disebutkan, "Pintu
taubat masih terbuka untuknya setelah itu!" (HR Muslim [57] dan [104])
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a., bahwa Rasulullah saw.
bersabda, "Memaki orang Muslim adalah perbuatan fasik dan memeranginya
adalah kekufuran." (HR Bukhari [48] dan Muslim [64]).
Diriwayatkan dari Jarir r.a., ia berkata, "Tatkala mengerjakan haji
wada', Rasulullah saw. berkata kepadaku, 'Suruhlah orang-orang diam!'
Kemudian beliau berkata, 'Janganlah kalian kembali kepada kekufuran
sepeninggalku dan saling menumpahkan darah di antara kalian'." (HR
Bukhari [121] dan Muslim [65]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Ada dua perkara apabila
manusia melakukannya mereka menjadi kufur; mencela keturunan dan
meratapi orang mati'." (HR Muslim [67]). Diriwayatkan dari asy-Sya'bi,
dari Jarir, bahwa ia mendengar Jarir berkata, "Budak mana saja yang
melarikan diri dari tuannya, maka ia telah kufur sehingga kembali kepada
tuannya." (HR Muslim [68]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.,
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kamu membenci bapakmu
sendiri, barang siapa membenci bapaknya maka ia telah kufur." (HR
Bukhari [6868] dan Muslim [62]).
Kandungan Bab:
Di antara
hal yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah, Kekufuran
memiliki tingkatan, salah satu tingkatannya adalah kufrun duuna kufrin.
Berdasarkan hasil penelitian dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits
Nabawi dalam masalah ini dan penggabungan beberapa dalil di dalamnya.
Berikut penjelasannya:
Pertama: Rasulullah saw. menyebut sebagian
dosa dengan kekufuran, sedang Allah masih memasukkan pelakunya dalam
golongan kaum Mukminin. Allah SWT berfirman, yang artinya, "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Rabb-mu dengan suatu rahmat. Barang
siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih." (Al-Baqarah: 178).
Dari penggabungan ayat dan
hadits-hadits tersebut, dapat diketahui bahwa kufur yang dimaksud adalah
kufrun duuna kufrin (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari
Islam). Berikut ini akan kami sebutkan alasannya:
1 Si
pembunuh tidak keluar dari golongan kaum Mukminin, bahkan masih termasuk
saudara bagi wali korban yang menuntut qishash, sudah barang tentu
persaudaraan yang dimaksud adalah persaudaraan seagama.
2
Disebutkan keringanan hukuman setelah dimaafkan oleh wali korban yang
terbunuh. Sekiranya si pembunuh kafir, murtad dari agama, tentunya tidak
akan ada keringanan!
3 Disebutkan kasih sayang setelah
keringanan tersebut, dan maghfirah merupakan konsekuensi dari kasih
sayang. Allah SWT tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa-dosa
selain syirik. Maka jelaslah bahwa dosa selain syirik disebut kufur,
namun tidak mengeluarkan pelakunya dari agama.
Allah SWT
berfirman, "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang,
maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan
itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya
orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat." (Al-Hujuraat: 9-10).
Demikian pula, berdasarkan
penggabungan ayat ini dengan hadits-hadits di atas, dapat kita tegaskan
bahwa kufur yang dimaksud adalah kufrun duuna kufrin. Alasannya adalah
sebagai berikut:
1 Allah SWT memasukkan kedua pihak yang saling berperang itu dalam golongan kaum Mukminin.
2 Allah SWT menyebut mereka sebagai dua pihak yang saling bersaudara.
Persaudaraan yang dimaksud tentunya persaudaraan seagama.
3 Allah
SWT menyebut mereka sebagai saudara bagi pihak yang mendamaikan
keduanya. Tidak ragu lagi bahwa persaudaraan seimanlah yang menyatukan
mereka.
4 Allah SWT menyebut pihak yang berbuat aniaya sebagai
kelompok pembangkang. Mereka berhak diperangi hingga mereka kembali
kepada perintah Allah, yakni menerima perdamaian. Sekiranya mereka
kafir, bermakna keluar dari agama, tentu mereka harus diperangi hingga
beriman kepada Allah.
5 Para ulama telah menyepakati hukum-hukum
yang berhubungan dengan kelompok pembangkang ini, yaitu kaum wanita
mereka tidak boleh ditawan, harta mereka tidak boleh dirampas, orang
yang melarikan diri dari mereka tidak boleh dikejar, orang yang terluka
dari mereka tidak boleh dibunuh. Sekiranya mereka kafir, tentu hukumnya
tidak demikian, sebagaimana telah dimaklumi bersama tentang hukum-hukum
yang berkaitan dengan peperangan.
Demikian pula dalam
beberapa hadits shahih disebutkan bahwa kedua pihak yang berperang itu
masih termasuk kaum Muslimin, misalnya sabda Nabi tentang cucu beliau,
Hasan bin Ali r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, "Cucuku ini
adalah sayyid, semoga Allah mendamaikan melalui dirinya dua kelompok
kaum Muslimin yang bertikai."
Allah SWT telah mendamaikan dua
kelompok kaum Muslimin yang bertikai setelah Hasan bin Ali r.a.
menyerahkan tampuk kekhalifahannya kepada Mu'awiyah bin Abu Sufyan r.a.
pada tahun 40 H, tahun itu kemudian disebut sebagai tahun Jama'ah.
Disebabkan barisan kaum Muslimin dapat disatukan setelah sebelumnya
tercerai-berai.
Sekiranya dosa ini -yakni memerangi kaum
Muslimin- hukumnya kafir, keluar dari agama, tentu sebagai
konsekuensinya adalah pengkafiran para Sahabat r.a.! Itulah yang
menyebabkan tapak kaki kaum Khawarij tergelincir ke dalam jurang takfir!
Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan dan dari tidak mendapat
taufik dan rahmat.
Kedua: Rasulullah saw menafikan keimanan dari
para pelaku sebagian maksiat, seperti zina, mencuri dan meminum khamr.
Sekiranya para pelaku maksiat itu dihukumi kafir, dalam arti kata keluar
dari agama, tentu mereka dihukumi murtad dan harus dibunuh, tidak perlu
menjalani hukum hadd zina, mencuri dan meminum khamr. Tentu sudah jelas
bathil dan rusaknya perkataan tersebut dalam pandangan Islam. Nash-nash
Al-Qur'an dan As-Sunnah serta ijma' menunjukkan bahwa para pezina,
pencuri, qadzif (penuduh wanita baik-baik dengan tuduhan berzina tanpa
bukti), tidaklah dibunuh sebagai orang murtad, namun dikenakan had. Itu
menunjukkan bahwa mereka tidak dianggap murtad." (Syarhul 'Aqiidah
ath-Thahaawiyah, hal. 321)
Abu Ubaid berkata dalam kitab Al-Iman
(halaman 88-89) berkenaan dengan bantahannya terhadap kelompok yang
mengkafirkan pelaku maksiat, "Kemudian kami dapati Allah SWT telah
mendustakan perkataan mereka. Yaitu Allah menjatuhkan hukum potong
tangan terhadap para pencuri, hukuman cambuk bagi para pezina dan
qadzif. Sekiranya perbuatan dosa tersebut menyebabkan pelakunya kafir,
tentu hukuman mereka adalah mati! Sebab, dalam sebuah hadits riwayat
Bukhari disebutkan, Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa mengganti
agamanya (murtad), maka bunuhlah ia!" (HR Bukhari [3017])
Tidakkah engkau perhatikan, sekiranya mereka itu kafir, tentu hukuman
yang dijatuhkan bukanlah potong tangan atau cambuk!? Demikian pula
firman Allah terhadap orang yang dibunuh secara zhalim, "Maka
sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya," dan
ayat seterusnya. (Al-Israa': 33).
Sekiranya membunuh hukumnya
kafir, tentu tidak akan diberi kuasa kepada ahli waris korban untuk
memberi maaf atau menerimam diyat, sebab pelakunya harus dibunuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmuu' al-Fataawa
(VII/287-288), "Demikian pula setiap Muslim tentu mengetahui bahwa
peminum khamr, pezina, qadzif dan pencuri, tidaklah digolongkan oleh
Rasulullah saw. sebagai orang yang murtad yang harus dibunuh. Bahkan,
Al-Qur'an dan hadits-hadits mutawatir telah menjelaskan bahwa para
pelaku kejahatan di atas berhak mendapat hukuman yang bukan merupakan
hukuman orang murtad. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur'an,
yaitu hukuman cambuk bagi qadzif dan pezina, hukum potong tangan bagi
pencuri, dan hal ini telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi saw.
Sekiranya para pelakunya murtad, tentu hukumnya harus dibunuh. Dua
pendapat di atas telah diketahui kesalahannya karena bertentangan dengan
ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw."
Saya katakan, bilamana
maksiat tidak melenyapkan keimanan dan tidak menyebabkan pelakunya
kafir, keluar dari agama, maka penafian iman yang dimaksud dalam
hadits-hadits di atas adalah penafian kesempurnaan iman, bukan penafian
iman secara keseluruhan. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Sabda Nabi saw., "Jika seorang hamba berzina, maka iman akan keluar
darinya seperti naungan, dan apabila ia meninggalkannya, maka iman akan
kembali kepadanya." (Shahih, HR Abu Dawud [4690]).
Adapun
buktinya adalah dialog yang terjadi antara saya dengan salah seorang
tokoh jama'ah takfir seputar hadits-hadits tersebut. Ia berdalil dengan
hadits tersebut atas kafirnya pelaku zina, peminum khamr dan pencuri.
Aku pun membela madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dari sisi bahasa, saya
katakan kepadanya, "Hadits-hadits ini tidak menunjukkan kepada apa yang
Anda kehendaki dari sisi bahasa, ditambah lagi atsar-atsar Salafush
Shalih dari kalangan Sahabat dan Tabi'in yang jelas bertentangan
dengannya." "Bagaimana itu?" tanyanya. Saya katakan: "Sebab,
kalimat-kalimat setelah kata nakirah merupakan sifat, dan setelah kata
ma'rifah merupakan hal. Kalimat-kalimat ini menjelaskan tentang keadaan
penzina, pencuri dan peminum khamr, yaitu mereka telah melakukan
perbuatan dosa dan keji. Jika ia telah meninggalkannya, maka keimanannya
akan kembali kepadanya." Ia pun terdiam dan tidak mampu memberi
jawaban.
Abu 'Ubaid dalam kitab Al-Iman (90-91) berkata, "Jika
ada yang berkata, 'Bagaimana boleh dikatakan, 'Tidak beriman!' sementara
status keimanan tidak tercabut darinya?' Maka jawabannya, 'Perkataan
seperti itu dalam bahasa Arab sering digunakan dan tidak ada seorang pun
yang mengingkarinya. Perkataan tersebut tidaklah menafikan amal dari
pelakunya jika amal yang ia lakukan itu tidak sesuai menurut hakikat
yang berlaku. Tidakkah engkau lihat mereka mengatakan kepada para
pekerja yang tidak beres pekerjaannya, 'Engkau tidak mengerjakan
apa-apa, engkau tidak melakukan apa-apa!' Maksudnya adalah pekerjaan
yang dilakukannya kurang beres. Bukan maksudnya ia tidak mengerjakan apa
pun sama sekali. Jadi, secara status ia telah bekerja, namun dilihat
dari hasil, ia belum bisa disebut telah bekerja. Bahkan, orang Arab
menggunakannya dalam masalah yang lebih besar daripada itu. Sebagai
contoh; Seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya dan selalu
menyakitinya, maka orang-orang akan berkata, 'Ia bukanlah anaknya!'
Padahal mereka semua tahu bahwa anak itu adalah anak kandung orang
tersebut. Demikian pula halnya saudara, isteri dan para budak. Madzhab
mereka dalam masalah ini adalah memisahkan amal-amal yang wajib atas
mereka berupa ketaatan dan kebajikan. Adapun yang berkaitan dengan
status nikah, perbudakan dan nasab, maka tetap berdasarkan nama dan
status asalnya (yaitu, orang tersebut tetap sebagai saudara, isteri atau
anak-pent). Demikian pula halnya dosa-dosa yang menafikan iman yang
terhapus adalah hakikat keimanan. Di antara salah satu kriterianya
adalah ketundukan kepada syari'at. Adapun yang berkaitan dengan status,
menurut konstitusi syari'at, ia masih tetap Mukmin. Kami telah menemukan
beberapa dalil yang mendukung pendapat ini dari Al-Qur'an dan
As-Sunnah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar