Oleh Ustadz Muslim Al-Atsari
Naskh secara bahasa artinya:
menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, menulis. Adapun secara
istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama
ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi
rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah
penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang
setelahnya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan
definisi naskh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan
perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”
Di
antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil
syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Kedua,
Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang
ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul
Mutaakhirin.
Hudzaifah ra berkata, “Yang memberi fatwa kepada
manusia hanyalah tiga orang; Orang yang mengetahui yang mansukh dari
Al-Qur’an, atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa), atau orang dungu
yang memaksakan diri.”
Imam Ibnul Qayyim berkata mengomentari
perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang
dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) nasikh dan mansukh
terkadang adalah menghapuskan hukum sekaligus. Dan ini merupakan istilah
mutaakhirin, dan terkadang adalah menghapus penunjukkan dalil ‘am,
muthlaq, zhahir, dan lainnya. Kemungkinan dengan takhshish
(pengkhususan), taqyid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada
muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbih
(mengingatkan).
Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil
Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau
lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza
wa Jalla.
Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
Penunjukkan Adanya Naskh dalam Syari’atPerlu
diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an
yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan
oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil NaqlFirman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah: 106).
Makna
kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an,
sebagaimana penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti
riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul
‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi,
Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.
Adapun manafsirkan
kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana
dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu
merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun
bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas.
Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS An Nahl: 101).
Demikian
juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh
dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti
adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat
jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat
mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat
dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Aql
Syeikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut
akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut
akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan)
milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Malik (Sang
Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang
dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang
Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia
kehendaki?"
Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’.”
Al-Kamal
Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas
bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”
Macam-Macam Naskh
Pertama, macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah
naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan
mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang
diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah: "Hai
Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua
puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar)
diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang
kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).
Ayat
ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang
menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam
berperang menghadapi 1.000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: "Sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa
ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu
ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu
orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Anfal: 66).
Abdullah bin Abbas berkata, "Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.”
(QS Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika
diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10
(musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa
ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (QS Al-Anfal:
66). Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib
dihadapi), kesabaran pun berkurang seukuran apa yang Allah telah
meringankan dari mereka.” (HR Bukhari).
Inilah contoh hukum yang
mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65
surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari
Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho
Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. Orang yang menolak adanya
mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya TetapAl-Aamidi
menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh
(penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan
anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.
Hikmah
naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi
nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang
zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan
dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi
Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya,
Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan
terendah jalan wahyu kepada para nabi.
Selain itu, di antara
hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya
adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di
dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah
turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash
rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam.
Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan
panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak
mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat
dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh
Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina
dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau
ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah,
Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam
setelah beliau.” (HR Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam,
disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang tua
(maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah
menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai
hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa,
Maha Bijaksana."
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan LafazhnyaContoh,
ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah
berkata, "Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an
adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian
itu dinaskh (dihapuskan) dengan “Lima kali penyusuan yang diketahui.”
Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara
Al-Qur’an." (HR Muslim).
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.
Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara ringkas—ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’anJenis
naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang
beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya
tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66
dari surat Al-Anfal.
Contoh lain firman Allah SWT: "Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan
lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)
Ayat
ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum
berbisik-bisik dengan Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat
berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. "Apakah kamu takut
akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan
dengan Rasul. Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13)
2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir
Pada
bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau
menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an
yang datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an
dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan
dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan
Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.”
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah: "Katakanlah:
'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena
sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain
Allah." (QS Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa
makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini diturunkan—hanyalah empat
jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak boleh
dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan
hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang
mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat
Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah,
dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan
Sunnah terjadi setelah itu di Khaibar.
3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an
Contoh
jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini
berdasarkan Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu
ke arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)
4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah
Contoh,
sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka
sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim)
Dengan
penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat
yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang
dihapus) hukumnya atau lafazhnya. Wallahua'lam. Demikian, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar