Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar penulisan mushaf (khususnya di zaman Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu), yaitu:
1. Apakah pada zaman Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dilakukan penulisan ulang, menyelisihi penulisan di zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu?
2. Apakah para sahabat sepakat akan penyatuan mushaf dan pembakaran mushaf dengan 6 qiro’ah yang lainnya?
3. Al Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf” tersebut tidak mencakup secara keseluruhan, berarti Mushhaf ini telah menghilangkan banyak bagian dari Al Qur’an!?
4. Dengan tujuh bacaan yang berbeda (yang bisa menyebabkan perbedaan makna) bisa sangat mungkin syariat diselewengkan dari tahun ke tahun!?
Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Asy-Syinqithi rohimahulloh (2/225) berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan.
Al-Qurthubi rohimahulloh (10/5) mengatakan, Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan. Lalu beliau menyebutkan ucapan Qatadah dan Tsabit al-Bunani, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari upaya setan yang ingin menambahkan kebatilan ke dalamnya dan mengurangi kebenarannya, sehingga Al-Qur’an tetap terpelihara.”
Al-Imam Al-Baidhawi rohimahulloh (3/362) mengatakan, “Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap sikap orang-orang kafir yang senantiasa mengingkari dan memperolok-olok Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menguatkannya (Al-Qur’an) dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maksudnya, memeliharanya dari penyimpangan, baik huruf maupun makna, dan penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu keajaiban (mukjizat), guna membedakan apa yang tertera padanya dengan ucapan manusia.”
Kata asy-Syaikh as-Sa’di rohimahulloh, “Al-Qur’an terpelihara saat diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya. Adapun setelah diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala menyimpannya di hati Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian di hati umatnya. Allah subhanahu wa ta’ala menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian. ……”
Ath-Thabari rohimahulloh (14/8) berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan kebatilan yang bukan bagian darinya, atau pengurangan hukum, batasan, dan kewajiban yang seharusnya ada padanya.” (http://asysyariah.com/hadits-terpelihara-sebagaimana-al-quran.html)
Dengan demikian, sebagai seorang muslim, kita harus yakin bahwa Al-Quran yang ada di hadapan kaum muslimin saat ini, itulah yang diwahyukan oleh Alloh kepada Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam, baik huruf, lafadz, maupun maknanya SAMA, tidak ada penambahan maupun pengurangan. Alhamdulillahi bini’matihi tatimmush shoolihaat.
Tahap-Tahap Penulisan dan Pengumpulan Al-Qur’an
Sebelumnya perlu diketahui dulu bahwa penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama. Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya.Para sahabat yang menghafal Al-Qur’an antara lain: Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum. Baca juga: http://www.alsofwa.com/14950/178-quran-pengumpulan-al-quran-dalam-artian-penulisannya-pada-zaman-nabi.html
Tahap Kedua. Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun 12 Hijriyah.
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukhari [Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. (http://almanhaj.or.id/content/2198/slash/0/penulisan-al-quran-dan-pengumpulannya/). Baca juga http://www.alsofwa.com/14952/180-quran-pengumpulan-al-quran-pada-masa-abu-bakar-radhiyallahu-anhu.html
Tahap Ketiga. Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun 20 Hijriyah.
Pembahasan inilah yang akan sedikit dipanjangkan.
Di antara jasa beliau yang besar dan kebaikan beliau yang agung, bahwa beliau telah menyatukan kaum muslimin pada satu qira’ah dan dituliskannya bacaan al-Qur’an terakhir yang diajarkan oleh Jibril kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, yakni ketika Jibril mendiktekan al-Qur’an kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam pada tahun terakhir masa hidup beliau.
Latar belakang penyatuan mushaf ini adalah Hudzaifah bin al-Yaman ikut serta dalam beberapa peperangan. Pada pasukan tersebut berkumpul orang-orang dari Syam yang mengambil bacaan dari Qira’ah al-Miqdad bin al-Aswad dan Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhum dan sekelompok penduduk Iraq yang mengambil bacaan dari Qira’ah Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa rodhiyallohu ‘anhum. Bagi yang tidak mengetahui bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh bacaan, mengutamakan bacaannya dari pada bacaan yang lain bahkan terkadang menyalahkan bacaan yang lain atau sampai pada pengkafiran.
Hal itu membuka jurang perselisihan sehingga tersebarlah ucapan-ucapan jelek di kalangan masyarakat. Maka berangkatlah Hudzaifah bin al-Yaman rodhiyallohu ‘anhu menghadap Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu dan berkata, “Ya Amirul Mukminin! Benahi umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitab mereka sebagaimana perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenai kitab mereka.” Kemudian Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu menceritakan apa yang ia saksikan mengenai perselisihan yang terjadi di tengah kaum muslimin. Pada saat itu Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka untuk memusyawarahkan perkara tersebut. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an harus ditulis dalam satu Qira’ah (bacaan) dan menyatukan seluruh daerah pada satu bacaan saja untuk menghentikan perselisihan dan menghindari perpecahan.
Beliau meminta lembaran-lembaran al-Qur’an yang dulu dipakai Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu dan memerintahkan Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu untuk mengumpulkannya. Lembaran ini dipakai Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ketika masih hidup kemudian dipakai oleh Umar bin Khaththab rodhiyallohu ‘anhu. Setelah Umar rodhiyallohu ‘anhu wafat lembaran-lembaran al-Qur’an tersebut berada di tangan Hafshah Ummul Mukminin rodhiyallohu ‘anha. Lantas Utsman memintanya dan memerintahkan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Sa’id bin ‘Ash al-Umawy dengan disaksikan oleh Abdullah bin Zubair al-Asady, dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam al-Makhzumy rodhiyallohu ‘anhum. Beliau memerintahkan juga jika mereka berselisih pendapat maka tulislah yang sesuai dengan bahasa Arab Quraisy. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Maka ditulislah satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk Syam, satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk mesir, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Bashrah, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Kufah, begitu juga ke Makkah dan Yaman dan satu mushaf al-Qur’an untuk Madinah. Mushaf-mushaf ini disebut dengan Mushaf al-Aimmah atau al-Utsmaniyah. Mushaf tersebut bukan hasil tulisan Utsman rodhiyallohu ‘anhu tetapi tulisan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu. Dikatakan mushaf al-Utsmaniyah karena ditulis berdasarkan perintah beliau, pada zaman pemerintahan beliau, sebagaimana penamaan Dinar Hiraklius, karena dibuat pada masa pemerintahannya.
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan semua mushaf yang beredar di kalangan masyarakat yang berbeda dengan mushaf tersebut lalu membakarnya agar tidak lagi timbul perselisihan. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Abu Bakar bin Dawud berkata tentang penulisan mushaf tersebut, “Muhammad bin Basyar telah mengatakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far dan Abdur Rahman telah mengatakan kepada kami, Syu’bah bin Alqamah bin Martsad telah mengatakan kepada kami dari seseorang dari Suwaid bin Ghaflah ia berkata, ‘Ali bin Abi Thalib rodhiyallohu ‘anhu berkata kepadaku ketika Utsman rodhiyallohu ‘anhu membakar mushaf-mushaf tersebut, ‘Jika Utsman tidak melakukannya niscaya aku yang akan melakukannya (yaitu penulisan mushaf).’ Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thiyalisi dan Amr bin Marzuq dari Syu’bah dengan matan yang sama’.
Al-Baihaqi dan lainnya meriwayatkannya dari hadits Muhammad bin Aban -suami saudara perempuan Husain- dari ‘Alqamah bin martsad berkata, “Aku mendengar al-‘Aizar bin Huraits berkata, ‘Aku mendengar Suwaid bin Ghaflah berkata, ‘Ali rodhiyallohu ‘anhu berkata, ‘Wahai hadirin sekalian! Janganlah kalian berlebihan dalam mensikapi Utsman, kalian katakan ia telah membakar mushaf-mushaf. Demi Allah dia tidak membakarnya melainkan di hadapan sekumpulan sahabat Muhammad. Jikalau aku yang ditugaskan, tentunya akan aku lakukan sebagaimana yang telah dia lakukan‘.”(al-Hafizh Ibnu Hajar telah menshahihkan sanadnya di dalam Fathul Bari, 9/18. Menurut saya (Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami), orang yang disebut sebagai “orang yang tak dikenal” dalam riwayat Abu Dawud adalah al-Aizar bin Nuraits)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia mencela ketika mushaf yang di tangannya diambil dan dibakar, dan mengatakan bahwa ia lebih dahulu masuk Islam dari pada Zaid bin Tsabit penulis mushaf tersebut dan menyuruh murid-muridnya untuk menyembunyikan mushaf-mushaf mereka dengan membacakan Firman Allah,
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, makapada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.”(Al. Imran: 161).
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengirimkan sepucuk surat kepada beliau yangisinya mengajak Ibnu Mas’ud untuk mengikuti para sahabat yang telah sepakat atas suatu kemaslahatan serta mengajaknya agar bersatu dan jangan berselisih. Maka Ibnu Mas’ud rujuk dan menyambut ajakan tersebut serta meninggalkan perselisihan (Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9/19 berkata, “Udzur bagi Utsman rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia melakukannya (penulisan mushaf) di ‘madinah sementara Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah. Utsman rodhiyallohu ‘anhu tidak menunda tekad tersebut hingga ia mengirim surat kepada Ibnu Mas’ud dan menyuruhnya untuk hadir. Dan Utsman rodhiyallohu ‘anhu menginginkan agar mushaf yang dikumpulkan pada zaman pemerintahan Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu menjadi satu mushaf saja. Dan yang menulis mushaf pada masa Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ialah Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu)
Abu Ishaq meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Yazid, ia berkata, bahwasanya Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu masuk ke masjid Mina seraya berkata, “Berapa raka’at amirul mukminin mengerjakan shalat Zhuhur?” Mereka menjawab, Empat rakaat.” Kemudian ia mengerjakan shalat empat rakaat. Mereka berkata, “Bukankah engkau telah menyampaikan kepada kami bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar dan Umar mengerjakannya dua rakaat ?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Benar dan sekarang akan aku ceritakan hal itu kepada kalian, tetapi aku benci dengan perselisihan.” Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Perselisihan itu jelek.” Dan berkata, “Bagianku dari yang empat rakaat ini adalah dua rakaat yang maqbul.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitab Mengqashar shalat pada Bab Shalat di Mina dengan jaian yang sama, 2/563-Fathul Bari. Demikian juga Abu Dawud dalam Sunannya dalam Kitab Manasik Haji pada Bab Shalat : 2/491.)
Jika Ibnu Mas’ud mengikuti Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang permasalahan furu’ (cabang) tentunya ia juga akan mengikuti Utsman rodhiyallohu ‘anhu pada asal al-Quran dan mencontohnya pada bacaan yang manusia diperintahkan untuk membacanya dengan bacaan tersebut.
Agar lebih jelas dalam menjawab kedua pertanyaan tersebut maka perlu diulas juga tentang:
Perbedaan Antara Pengumpulan Al-qur’an Di Zaman Abu Bakar dan ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhumaa (http://www.alsofwa.com/14956/184-quran-perbedaan-antara-pengumpulan-al-quran-di-zaman-abu-bakar-dan-utsman-radhiyallahu-anhumaa.html)
Faktor pendorong pengumpulan di zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah kekhawatiran akan hilangnya al-Qur’an disebabkan banyaknya Qurra’ (penghafal al-Qur’an) yang meninggal dalam peperangan. Sedangkan faktor pendorong di zaman ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu adalah banyak perbedaan cara membaca al-Qur’an, yaitu ketika beliau melihat perbedaan ini di negeri-negeri kaum Muslimin dan mereka saling menyalahkan satu sama lain.
Pengumpulan al-Qur’an pada zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dilakukan dengan mengumpulkan (memindahkan) catatan-catatan al-Qur’an yang terpisah-pisah
yang ada di kulit binatang, tulang belulang, dan pelepah kurma. Lalu
dikumpulkan dalam satu mushaf, yang ayat-ayat dan surat-suratnya
tersusun rapi, mencukupkan diri pada ayat-ayat yang tidak dinaskh
(dihapus) bacaannya, dan mushaf tersebut mencakup“tujuh huruf” yang dengannya al-Qur’an diturunkan.
Pengumpulan al-Qur’an versi ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu dengan menyalin salah satu huruf dari “tujuh huruf” al-Qur’an,
supaya kaum Muslimin bersatu di atas mushaf yang satu, huruf (cara
baca) yang satu yang mereka baca, tanpa huruf enam yang lainnya.
Ibnu at-Tiin dan yang lainnya berkata:“Perbedaan
antara pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar dengan yang
dilakukan ‘Utsman adalah bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan
al-Qur’an karena kekhawatiran dia akan hilangnya sebagian al-Qur’an
bersamaan dengan meninggalnya para penghafalnya (di medan perang),
karena saat itu al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu tempat (mushaf).
Maka dia pun mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran, tersusun rapi
ayat-ayat dan surat-suratnya sesuai dengan ketentuan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
Adapun pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan oleh
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu didorong oleh banyaknya perbedaan dalam wujuh
al-qira’ah (cara bacaan), sehingga masing-masing mereka membaca sesuai
dengan dialek/bahasa mereka (karena luasnya bahasa/dialek arab). Lalu
hal itu menyebabkan fenomena saling menyalahkan di antara mereka, maka
dikhawatirkan hal itu akan meluas. Kemudian ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu menyalin mushaf tersebut ke dalam satu mushaf yang tersusun rapi
ayat-ayat dan surat-suratnya. Dan dia hanya mencukupkan dengan bahasa
kaum Quraisy, bukan dengan bahasa arab yang lainnya, dengan alasan bahwa
al-Qur’an turun dengan bahasa mereka, dan sekalipun diberikan
keleluasaan dalam membacanya dengan bahasa arab selain mereka(Quraisy)
dari “tujuh huruf” itu, untuk memudahkan mereka pada awal mula turunya
al-Qur’an. Kemudian, dia melihat bahwa kebutuhan akan hal itu sudah
berakhir, maka dia hanya mencukupkan dengan satu bacaan (bahasa) saja,
yaitu bahasa kaum Quraisy.”
Al-Harits al-Muhasiby rahimahullah berkata:“Yang
masyhur di kalangan manusia adalah bahwa yang mengumpulkan al-Qur’an
adalah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, padahal tidaklah demikian.
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu hanyalah mengarahkan (menyatukan) manusia di atas satu qira’ah (cara
baca), berdasarkan pemilihan yang dihadiri oleh kaum Muhajirin dan
Anshar, ketika khawatir terjadinya fitnah ketika terjadi perselisihan
penduduk Irak dan Syam (daerah yang meliputi Syria, Palestina, Yordan,
Libanon dll) tentang masalah huruf qira’at (cara-cara membaca). Adapun
sebelum itu maka al-Qur’an dibaca dengan model/cara baca yang tujuh
(“tujuh huruf”) sebagaimana ia diturunkan. Dan adapun yang lebih dahulu
mengumpulkan/membukukan al-Qur’an secara keseluruhan adalah ash-Shiddiq
(Abu Bakar) radhiyallahu ‘anhu.” (al-Itqan: 1/59-60)
Dengan cara seperti ini ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mematikan
fitnah, menghilangkan sumber perpecahan, dan melindungi al-Qur’an dari
hal-hal yang bisa merusak keotentikannya berupa penambahan, dan
pengubahan seiring dengan berjalannya waktu dan bergantinya zaman.
Dengan demikian pertanyaan pertama, kedua, dan ketiga TELAH TERJAWAB. Sekali kami tegaskan bahwa yang dilakukan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu hanyalah
menyatukan bacaan, jadi tidak menghilangkan huruf, lafadz, dan makna.
Ketiganya terjaga dengan jaminan Alloh sendiri, sebagaimana dibahas di
awal. Walhamdulillah. Al-Quran sudah selesai dibukukan pada masa Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu. Bahkan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu memerintahkan Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu
untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Sa’id bin ‘Ash al-Umawy
dengan disaksikan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu pun tidak membakarnya melainkan di hadapan sekumpulan sahabat yang lain.
Tentang pertanyaan keempat, jawaban singkatnya sebagai berikut (http://forum.muslim-menjawab.com/2012/01/27/menjawab-gugatan-tentang-pembukuan-al-quran/):
Pertama. Seluruh qiroah yang dicontohkan adalah qiroah yang tidak muncul dari hasil ijtihad ulama. Melainkan, semua itu diterima kaum muslimin dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama secara mutawaatir. Jadi, walau berbeda-beda, tetapi tetap dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Jibril ‘alaihis salam, dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Qiroah mutawatir itu telah dihimpun oleh ulama pada masatabiut tabi’in. Mereka dikenal dengan imam qiroah yang tujuh. Cara baca Al Qur’an ini mereka terima dariTabi’in, tabi’in menerima dari sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan sahabat menerima dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama.
Kedua, Para ulama menerima Al Qur’an dengan metode yang hati-hati. Mereka menerima bacaan secara talaqi –pembicaraan melalui tatap muka- dari para hufadz yang
memiliki jalur periwayatan yang bersambung. Dengan begitu, teks
bukanlah satu-satunya sandaran dalam membaca. Sandaran utama dalam
membaca Al Qur’an di samping teks adalah hafalan yang diwariskan dari
guru ke murid.
Pada masa awal, umat islam hanya belajar secara talaqqi dengan guru yang menerima Al Qur’an dengan sanad yang kuat dan bersambung kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama (bahkan sampai sekarang masih ada ulama yang memiliki sanad qiroah yang bersambung sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam). Mereka juga hanya belajar pada ulama yang kapabilitasnya diakui dalam qiroah, yang memiliki sanad baik, kewara’an, dan keakuratan tinggi. Pada awalnya mushhaf tidak dijual. Mushhaf hanya bisa didapat oleh seorang murid ketika dia belajar kepada seorang qori’ yang memiliki sanad bersambung sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama dan
dia menyelesaikan hafalannya di depan sang guru. Kemudian setelah
bacaannya mantap, dia akan dinyatakan lulus, kemudian akan beralih untuk
mempelajari tsaqofah islam yang lain, seperti hadits dan fiqh. Tapi,
belajar Al Qur’an bukanlah satu-satunya menu pertama bagi ulama awal.
Menu pertama mereka yang lain adalah bahasa Arab yang mereka pelajari
sejak kecil di suku-suku pedalaman Arab (seperti yang dilakukan oleh
imam kita, Al Imam As-Syafi’iy rahimahullah, dll). Sehingga, mereka tidak menemui banyak kesulitan ketika mempelajari Al Qur’an, dengan mufrodat, I’rab, dan tashrifnya.
Wallohu a’lam
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Robb
pemilik langit dan bumi yang telah menjaga kitab-Nya yang sempurna,
sehingga dapat menerangi umat manusia menuju kerihoannya dan menjadi
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga sholawat dan salam
senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya,
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari
kiamat kelak
Abu Muhammad
Palembang, 1 Robi’uts-Tsani 1434 H / 11 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar