Ucapan terkadang ringan dimulut,
seakan-akan angin yang berhembus tanpa ada yang menghalanginya,
sehingga ada sebagian orang yang membuat hamba Allah tersakiti, dan
murka, bahkan “menyakiti” Allah ketika mencela makhluk-Nya. Sebab, mencela makhluk sama dengan mencela Allah.
Karenanya, Allah Ta’ala- mengajarkan kepada kita melalui lisan Nabi-Nya
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- cara menjaga lisan dari “hobi mencela“, karena ini akan mendatangkan dosa .
1. Jangan Mencela Masa (Waktu)
Masa
adalah salahsatu makhluk ciptaan Allah -Ta’ala-. Seorang ketika mencela
makhluk ibaratnya mencela Pembuat, dan Penciptanya. Si pencela ini
seakan tak menghormati, dan menghargai si Pencipta; seakan makhluk yang
dicelanya, tak ada gunanya. Padahal Allah menciptakannya berdasarkan
hikmah yang amat tinggi.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang kita mencela masa dalam sabdanya,
لَا تَسُبُّوْا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
“Janganlah kamu mencela masa, karena Allah adalah masa!” [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2246), dan Ahmad dalam Al-Musnad (9126)]
Mencela
masa dan mengembalikan kesialan kepada masa berarti menyakiti Allah
-Ta’ala- . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
قَالَ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ يَقُوْلُ يَا خَيْبَةَ
الدَّهْرِ فَلَا يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ فَإِنِّيْ
أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ
“Allah
Azza wa Jalla berfirman: ” Anak adam manyakiti-Ku; anak Adam berkata,
“Wah, Celaka karena masa”. Janganlah seorang diantara kalian berkata, “Wah, Celaka karena masa“, karena Aku dalah masa, Aku membolak-balikkan malam dan siang“. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (4826), Muslim dalam Shohih-nya (2246)].
Imam Al-Baghowiy-rahimahullah- berkata, “Sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, ” janganlah seseorang mangatakan : “Wah, celaka karena masa!”,
maknanya bahwa diantara kebiasaan orang Arab adalah mencela masa, yaitu
pada waktu kejadian-kejadian (musibah), karena menisbatkan
musibah-musibah dan perkara-perkara yang tidak disukai kepada masa.
Mereka biasa mengatakan (tentang orang yang tertimpa musibah),
“Masa-masa sial telah menimpa mereka; mereka telah dibinasakan oleh masa“. Allah -Subhanahu wa -Ta’ala-’ telah menyebutkan tentang mereka di dalam kitab-Nya seraya berfirman,
وَقَالُوْا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدَّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ
“Mereka
berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja;
kita mati dan kita hidup. Tidak ada yang akan membinasakan kita selain
masa“. ((QS.Al-Jatsiyah :24 ).
Jika
mereka menisbatkan kesusahan yang menimpa mereka kepada masa, berarti
mereka mencela pelaku yang membuat kesusahan-kesusahan itu, sehingga
celaan mereka tertuju kepada Allah -Ta’ala, karena Dia adalah Pelaku
sebenarnya terhadap perkara-perkara yang mereka nisbatkan kepada masa.
Oleh karena inilah, mereka dilarang mencela masa”. [Lihat Syarhus Sunnah
12/357, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, dengan tahqiq Syu’aib
Al-Arna’uth1398 H]
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata, “Pencela
masa akan berkisar dalam dua perkara; ia harus terkena oleh
salahsatunya: entah ia mencela Allah, ataukah ia musyrik
(memperserikatkan Allah), karena jika ia meyakini bahwa masa adalah
pelaku bersama Allah, maka ia adalah musyrik. Jika ia meyakini bahwa
Allah saja yang melakukan hal itu, sedang ia mencela yang melakukannya,
maka sungguh ia telah mencela Allah“. [Lihat Zaadul Ma’ad (2/323), dengan tahqiq Al-Arna’uth, cet. Mu’assasah Ar-Risalah, 1407 H]
Faedah:
Jangan
dipahami dari hadits ini bahwa Allah adalah masa, sebab masa adalah
makhluk. Abu Sulaiman Al-Khoththobiy-rahimahullah- berkata ketika
me-syarah hadits di atas, “Maknanya: Aku adalah pemilik masa, dan
pengatur segala urusan yang kalian nisbahkan kepada masa. Barangsiapa
yang mencela masa, karena dia adalah pelaku bagi urusan-urusan ini, maka
celaannya kembali kepada-Ku, karena Aku adalah Pelakunya. Masa itu
hanyalah waktu dan zaman yang aku jadikan sebagai wadah waktu terjadinya
urusan-urusan“. [Lihat Al-Qowa’id Al-Mutsla (hal.27), dengan Ta’liq Asyrof bin Abdil Maqshud, cet. Adhwa’ As-Salaf ]
2.Jangan Mencela Demam
Jika orang diuji dengan penyakit, seringkali dia tidak bersabar,
bahkan berkeluh kesah atau mencela penyakit yang dia derita. Padahal
semua yang dialami seorang mukmin itu baik baginya. Jika dia
menyikapinya seperti yang dituntunkan oleh Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam-, ini akan membersihkan seorang mukmin dari
dosa-dosanya.
Jabir bin abdullah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ
السَّائِبِ أَوْ أُمِّ الْمُسَيَّبِ فَقَالَ مَالَكِ ؟ يَا أُمَّ
السَّائِبِ أَوْ يَا أُمَّ الْمُسَيَّبِ تُزَفْزِفِيْنَ ؟ قَالَتْ
الْحُمَّى لَا بَارَكَ اللهُ فِيْهَا فَقَالَ لَا تَسُبِّيْ الْحُمَّى
فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِيْ آدَمَ كَمَا يُذْهِبُ الْكِيْرُ
خَبَثَ الْحَدِيْدِ
“Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- menemui Ummu Saib atau Ummu Musayyab,
lalu beliau bersabda: “kenapa engkau wahai ummu saib”, atau ” Wahai
Ummul Musayyab engkau gemetar”. Dia menjawab: “Demam, semoga Allah tidak memberkahinya”. Maka beliau bersabda: “janganlah
engkau mencela demam, sesungguhnya demam itu akan menghilangkan
dosa-dosa anak Adam sebagaiman tungku api pandai besi membersihkan
kotoran besi“. [HR.Muslim (2575)]
Beginilah
terapi Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam mengobati hati dan
lisan seseorang sehingga seorang mukmin bersih dari segala perkara yang
merusak citra dirinya di hadapan Allah dan para hamba-hamba-Nya. Inilah
keistimewaan Islam; ia mengajarkan akhlaq yang mulia dalam segala
perkara.
3.Jangan Mencela Binatang
Binatang
–walaupun rendah dalam pandangan kita- juga tak boleh dicela, karena ia
adalah nikmat ciptaan Allah yang membantu, dan memudahkan urusan dunia,
dan akhirat kita.
Abu Barzah Al-Aslamiy -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
بَيْنَمَا
جَارِيَةٌ عَلَى نَاقَةٍ عَلَيْهَا بَعْضُ مَتَاعِ الْقَوْمِ إِذْ
بَصُرَتْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَضَايَقَ بِهِمْ
الْجَبَلُ فَقَالَتْ حَلْ اللَّهُمَّ الْعَنْهَا قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَاحِبُنَا نَاقَةٌ عَلَيْهَا
لَعْنَةٌ
“ketika
seorang budak wanita berada diatas seekor onta tunggangan, dan di atas
onta itu terdapat barang milik orang-orang lain. Ketika onta itu melihat
nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sedangkan (jalan) gunung menjadi
sempit dengan mereka. Maka budak wanita itu berkata: “yak cepatlah hai
onta, wahai Allah laknatlah onta ini! ” maka Nabi bersabda: “onta yang dilakanat itu tidak boleh menemani kami“. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2596)].
Syaikh Husain Al-Awayisyah-hafizhahullah- berkata, “Alangkah agung dan indahnya agama ini, yang melarang celaan terhadap binatang.
Sebuah agama yang berusaha membersihkan hati; agama yang berusaha
membersihkan lidah. Sesungguhnya manusia yang terbiasa mencela binatang,
akan mudah baginya mencela manusia. Sesungguhnya manusia yang terbiasa
menjaga lidahnya dari mencela binatang, akan mudah baginya menjaga
lidahnya di dalam segala yang diridhoi oleh Allah -Ta’ala-, InsyaAllah“. [Lihat Hasho’id Al-Alsun (hal.157), cet. Darul Hijrah].
4.Jangan Mencela Ayam Jantan
Mungkin
ada diantara kita tak pernah berpikir kalau ayam yang kita lihat
sehari-hari, ternyata ia memiliki keutamaan membantu manusia dalam
beribadah, karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memuji ayam
jantan, dan melarang kita mencelanya. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda melarang kita mencela ayam jantan, karena ayam jantan
itu berkokok untuk membangunkan manusia agar beribadah kepada
penciptanya,
لَا تَسُبُّوْا الدِّيْكَ فّإِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلَاةِ
“Janganlah kamu mencela ayam, karena ayam jantan itu membangunkan (orang) untuk shalat“. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya(5101). Di-shohih-kan oleh syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Misykah Al-Mashobih (4136)].
Husain bin Al-Hasan Al-Hulaimiy-rahimahullah- berkata, “Dalam
hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
diambil suatu faedah darinya, tak pantas untuk dicela, dan direndahkan,
bahkan haknya untuk dimuliakan, dan disyukuri; dihadapai (dipergauli)
dengan baik“. [Lihat Faidhul Qodir Syarh Al-Jami’ Ash-Shoghir (1/1327/no.9786) karya Abdur Ra’uf Al-Munawiy]
Adapun
kebiasaan sebagian orang yang suka menghina ayam jantan, bahwa itu
hanyalah binatang, maka ini merupakan perbuatan sia-sia, dan tolol.
Justru perbuatannya tersebut yang pantas dicela. Lebih konyol lagi, jika
ayam jantan ini tidak sekedar dihina, tapi disakiti tubuhnya ketika
atraksi judi “Sabung Ayam” !!
6.Jangan Mencela Angin
Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- juga melarang mencela angin, karena
sesungguhnya angin itu berhembus dengan perintah Penciptanya, bukan atas
kemauannya sendiri, maka mencela angin berarti mencela Allah -Ta’ala- .
Tapi hendaknya seseorang jika melihat hembusan angin yang menakutkannya
hendaklah dia berdo’a dengan do’a yang dituntunkan oleh nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana hadits berikut ini:
لَا
ت َ سُبُّوْا الرِّيْحَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُوْنَ فَقُوْلُوْا
اللَهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيْحِ وَخَيْرِ مَا
فِيْهَا وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ بِهِ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ
الرِّيْحِ وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ
” Janganlah kamu mencela angin!
Jika kamu melihat apa yang kamu tidak suka dari angin itu maka
berkatalah: wahai Allah, kami mohon kepadamu kebaikan angin ini, dan
berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, dan dari keburukan yang
ada pada angin ini, dan dari keburukan yang angin ini dikirim“. [HR. At-Tirmidzy dalam Sunan-nya(2252), Ahmad dalam Al-Musnad (5/123/no.21176)Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2756)].
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alusy Syaikh-rahimahullah- berkata, “Angin
itu berhembus dengan penciptaan Allah -Ta’ala-’ dan perintah-Nya,
karena Allah yang menciptakannya dan memerintahkannya. Maka mencelanya
berarti mencela Pelakunya, yaitu Allah -Ta’ala-, sebagaimana telah
berlalu tentang larangan mencela masa, dan ini menyerupainya. Tak ada
yang melakukannya, kecuali orang yang bodoh terhadap Allah dan
agama-Nya,dan terhadap perkara yang Dia syariatkan kepada
hamba-hamba-Nya. Jadi, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang
orang-orang yang beriman dari perkara yang dikatakan oleh orang-orang
yang bodoh dan kasar. Beliau membimbing mereka kepada perkara yang
disukai untuk dikatakan pada saat angin berhembus, yaitu beliau
bersabda, ” Jika kamu melihat apa yang kamu tidak sukai dari angin itu
maka katakanlah, “Ya Allah, kami mohon kepada-Mu dari kebaikan angin
ini, dan dari kebaikan yang ada pada angin ini, dan dari kebaikan yang
angin ini dikirim. Kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini,
dan dari keburukan yang ada pada angin ini, dan dari keburukan yang
angin ini dikirim”. Di dalam do’a ini terdapat peribadahan kepada Allah,
ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan menolak
keburukan-keburukan; menyebut karunia dan nikmat Allah. Inilah keadaan
orang-orang yang bertauhid dan beriman. Berbeda dengan keadaan
orang-orang yang fasik dan penuh dengan maksiat, orang-orang yang
dihalangi dari mencicipi rasa tauhid yang merupakan hakikat iman“. (Lihat Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid (hal. 559), cet. Dar Alam Al-Kutub, 1417 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar