Minggu, 04 Oktober 2015
Al Quran dan Islam
Al Quran yakni kitab suci orang Islam berisi ilmu yang tinggi tentang keilahian (terutama) yang membawa kita kpeada penyembahan hakiki kepada ALLAH AZZA WA JALLA, pencipta kita, pencipta nenek moyang kita pada kali yang pertama, yakni Nabi Adam as dan semua makhluk, untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat... Wallahu'alam
Nikmat Terbesar
Nikmat terbesar adalah hidayah iman Islam, mengenal ALLAH yakni Tuhan pencipta segala makhluk yang kelihatan dan yang tidak kelihatan untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dunia-akhirat...
Kedudukan ALLAH SWT
Kedudukan ALLAH SWT yang Maha Kuasa adalah mulia, sesuai sifatnya yang Maha Mulia... Kedudukannya tidak tergapai manusia karena ALLAH SWT Maha Tinggi dan Maha Agung... ALLAH juga tempat tergantung segala sesuatu, yakni Ash Shomad, maka dari itu kedudukanNya sangat mulia dan kedudukannya justru bergantung kepadaNya... Dan kedudukan ALLAH tidak berbatas ruang dan waktu, karena yang berbatas pasti bukan Tuhan sebab ALLAH tidak terbatas Wa lam yakun lahu kufuwan ahad (ayat keempat)... Yakni seperti ketika Isra Mi'raj Nabi Muhammad saw, hanya Nabi SAW yang bisa sampai ke Sidhratul Muntaha, di atas langit ke tujuh, hanya hamba ALLAH SWT yang terpilih yang bisa sampai pada hadiratNya, sedangkan malaikat Jibril as saja akan hangus terbakar (“Dan sesungguhnya nabi Muhammad telah melihatJibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di Sidratul Muntaha.
Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika
Sidratull Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dariyang dilihatnya itu dan
tidakpula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm : 13 –
18)).... Wallahu'alam
Sabtu, 03 Oktober 2015
“Betis Allah”
Dalam Sahih Bukhari, Mustadrak oleh al-Hakim, Tafsir Tabari, Ibn
Kathir dan Suyuti, kami dapati hadith-hadith yang menyentuh tentang
“betis” Allah. Dalam ayat berikut: “Pada hari betis disingkapkan dan
mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa.” (Al-Qalam:
42)
Abu Sa’id, salah seorang sahabat Nabi saw berkata beliau mendengar Nabi saw berkata:
“Tuhan Kami akan menyingkapkan betisNya, kemudian setiap orang Mukmin dan mukminah akan berlutut di hadapanNya, kecuali mereka yang menyembahNya di muka bumi hanya untuk menunjuk-nunjuk atau untuk menarik minat orang lain supaya suka kepadanya maka mereka ini tidak akan dapat melutut dan akan kekal dalam keadaan tegak berdiri.”
Hadith ini telah diriwayatkan secara terperinci oleh Bukhari dalam Bab Tauhid; kami kutip secara ringkas disini.
“Akan diseru pada Hari Pembalasan: Setiap orang akan berbaris di belakang sembahan-sembahan mereka. Maka orang ramai akan berkumpul di belakang tuhan-tuhan mereka, kecuali penyembah-penyembah Allah akan tetap teguh berdiri menungguNya.Kemudian Allah akan muncul dan bertanya kepada mereka: ‘Adakah anda mempunyai satu tanda pengenalan di antara kamu dengan Allah yang akan membolehkan kamu mengenaliNya?’ ‘Ya, mereka akan berkata: “Betis”. Kemudian Allah akan menyingkapkan BetisNya, apabila melihat hal ini orang-orang Mukmin akan sujud dan akan mengikutNya ke surga.”c
Abu Sa’id, salah seorang sahabat Nabi saw berkata beliau mendengar Nabi saw berkata:
“Tuhan Kami akan menyingkapkan betisNya, kemudian setiap orang Mukmin dan mukminah akan berlutut di hadapanNya, kecuali mereka yang menyembahNya di muka bumi hanya untuk menunjuk-nunjuk atau untuk menarik minat orang lain supaya suka kepadanya maka mereka ini tidak akan dapat melutut dan akan kekal dalam keadaan tegak berdiri.”
Hadith ini telah diriwayatkan secara terperinci oleh Bukhari dalam Bab Tauhid; kami kutip secara ringkas disini.
“Akan diseru pada Hari Pembalasan: Setiap orang akan berbaris di belakang sembahan-sembahan mereka. Maka orang ramai akan berkumpul di belakang tuhan-tuhan mereka, kecuali penyembah-penyembah Allah akan tetap teguh berdiri menungguNya.Kemudian Allah akan muncul dan bertanya kepada mereka: ‘Adakah anda mempunyai satu tanda pengenalan di antara kamu dengan Allah yang akan membolehkan kamu mengenaliNya?’ ‘Ya, mereka akan berkata: “Betis”. Kemudian Allah akan menyingkapkan BetisNya, apabila melihat hal ini orang-orang Mukmin akan sujud dan akan mengikutNya ke surga.”c
ALLAH ADA DI ATAS LANGIT BERISTIWA’ DI ATAS ‘ARSY-NYA
Manhaj
salaf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah MENETAPKAN (ITSBAT) apa-apa yang
Allah Azzawajalla telah firmankan di dalam Al Qur’an dan apa-apa yang
telah di sabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam di dalam
hadith-hadith yang shahih tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah
seperti istiwaa’ (bersemayam)nya Allah di atas ‘Arsy yang sesuai dengan
kebesaran dan kemuliaan-nya, wajah-Nya, Tangan-Nya, mata-Nya,
datang-Nya, turun-Nya, marah-Nya, cinta-Nya dan lain-lain banyak sekali
di dalam Al Qur’an dan hadith-hadith SHAHIH di Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasaa’i, Ibnu Majah, Malik, Ahmad, Kitab Tauhid Ibnu
Khuzaimah dan lain-lain.
Dalam hal ini telah datang begitu banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Pada 8 tempat Ia berfirman di Kitab-Nya yaitu :
أأمنتم
من في السماء أن يخسف بكم الأرض ) الملك /16. " Apakah kamu ...merasa
aman terhadap Allah yang di langit ...... Al-Mulk : 16
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى... Ar rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa’ (thaha:5)
…ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ… Kemudian Ia istawaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy(Qs Al A’araf:54)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs. Yunus : 3)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs. Ar ra’d:2)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.Al Furqan:59)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.As Sajdah:4)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.A; hadid:4)
Dan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang sangat masyhur
sekali yang diriwayatkan oleh banyak imam, di antaranya Al Imam Muslim
di Shahih-nya juz II hal. 70-71 :
حديث
الجارية: عن معاوية بن الحكم قال: وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى
غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ
فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ
بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً
فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ
ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ: «يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟» قَالَ:
”ائْتِنِي بِهَا“ فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَقَالَ لَهَا: ”أَيْنَ اللَّهُ“،
قَالَتْ: «فِي السَّمَاءِ.» قَالَ: ”مَنْ أَنَا“ قَالَتْ: «أَنْتَ رَسُولُ
اللَّهِ.» قَالَ: ”أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ“ [صحيح مسلم]
Beliau
bertanya kepada budak perempuan ; “DIMANAKAH ALLAH ?” Jawab budak
perempuan ; “ DI ATAS LANGIT “ Beliau bertanya lagi : “ Siapa aku ?”
Jawab budak perempuan : “Engkau ialah Rasullullah shallallahu ‘alaihi
wassalam.” Beliau bersabda : “ Merdekakan dia! Kerana sesungguhnya dia
seorang mu’minah (perempuan beriman)
Aqidah kita, bahwa kita meyakini ALLAH
ADA DI ATAS LANGIT BERSEMAYAM DI ATAS ‘ARSY-NYA YANG SESUAI DENGAN
KEBESARAN DAN KEMULIAAN-NYA SEBAGAIMANA NASH AL QUR’AN DAN HADITH.
Dalam Shahih Bukhari di Bab Firman Allah : Wa kaana ‘Arsyuhu ‘alal-Maa’ Anas bin Malik menceritakan :
فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم تقول زوجكن أهاليكن وزوجني الله تعالى من فوق سبع سماوات
Adalah Zainab membanggakan dirinya atas isteri-isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ia berkata : “Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh langit”.
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
والعرش على الماء والله على العرش يعلم ما أنتم عليه
‘Arsy itu di atas air dan Allah di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”
[Dikeluarkan oleh Imam Thabrani dari Al-Mu’jamul-Kabiir no 8987, dengan sanad shahih]
Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengkabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Khalil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qasim bin ‘Alqamah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta ulamak hadith meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.
[Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar, hal.165]
فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم تقول زوجكن أهاليكن وزوجني الله تعالى من فوق سبع سماوات
Adalah Zainab membanggakan dirinya atas isteri-isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ia berkata : “Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh langit”.
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
والعرش على الماء والله على العرش يعلم ما أنتم عليه
‘Arsy itu di atas air dan Allah di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”
[Dikeluarkan oleh Imam Thabrani dari Al-Mu’jamul-Kabiir no 8987, dengan sanad shahih]
Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengkabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Khalil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qasim bin ‘Alqamah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta ulamak hadith meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.
[Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar, hal.165]
Imam Bukhari dalam kitabnya 'at-Tauhid'
menukil dari Abi Aliyah dan Mujahid tentang makna firman Allah, "tsummas
tawa ilas samaa" yakni Al-'Uluw wal Irtifa' (diatas dan tinggi).
Berkata ahli tafsir Imam Thobari tentang firman Allah, "Ar-Rahman 'alaa Arsy Istawa" yaitu Al-'Uluw wal Irtifa', dan ditanya Abdullah Ibnu Mubarak, "Bagaimana kita mengetahui Rabb kita?" maka Abdullah menjawab sesungguhnya Allah diatas langit ketujuh diatas Arsy. Sesungguhnya telah diulang dalam Al-Qur'an tertang ber-istiwa' (menetap tinggi) diatas Arsy sebanyak tujuh kali yang menunjukkan bahwa Allah ber-istiwa' (menetap tinggi) diatas Arsy-Nya, sifat yang sempurna bagi Allah, sifat tersebut memiliki kedudukan yang agung. Ketika Imam Malik ditanya tentang 'istawa' beliau menjawab istawa itu maknanya sudah diketahui, caranya tidak diketahui, beriman kepadanya wajib.
Makna 'istawa' sudah diketahui maksudnya secara bahasa, yaitu Al-'Uluw wal Irtifa' (di atas dan tinggi) tidak ada yang mengetahui caranya kecuali Allah dan tidak sama dengan makhluk-makhluk-Nya.
Berkata ahli tafsir Imam Thobari tentang firman Allah, "Ar-Rahman 'alaa Arsy Istawa" yaitu Al-'Uluw wal Irtifa', dan ditanya Abdullah Ibnu Mubarak, "Bagaimana kita mengetahui Rabb kita?" maka Abdullah menjawab sesungguhnya Allah diatas langit ketujuh diatas Arsy. Sesungguhnya telah diulang dalam Al-Qur'an tertang ber-istiwa' (menetap tinggi) diatas Arsy sebanyak tujuh kali yang menunjukkan bahwa Allah ber-istiwa' (menetap tinggi) diatas Arsy-Nya, sifat yang sempurna bagi Allah, sifat tersebut memiliki kedudukan yang agung. Ketika Imam Malik ditanya tentang 'istawa' beliau menjawab istawa itu maknanya sudah diketahui, caranya tidak diketahui, beriman kepadanya wajib.
Makna 'istawa' sudah diketahui maksudnya secara bahasa, yaitu Al-'Uluw wal Irtifa' (di atas dan tinggi) tidak ada yang mengetahui caranya kecuali Allah dan tidak sama dengan makhluk-makhluk-Nya.
DEFINISI ISTIWA
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى...
Ar rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa’ (thaha:5)
1. Istiwa secara bahasa ertinya bersemayam dan maknanya berada,Berkata Mujahid (seorang tabi’in besar murid Ibnu Abbas) :
استوئ علئ العرش
“ Ia istawaa (bersemayam) di atas ‘Arsy” maknanya :
علا علئ العرش
“ Ia berada di atas ‘Arsy “
(HR.Bukhari juz 8 hal:175)
2. Istiwa secara istilah adalah Majhul [tidak diketahui]
MAKSUD BERSEMAYAM
Bersemayamnya
Allah di atas 'Arsy-Nya adalah dengan cara bersemayam yang khusus,
bukan bersemayam secara umum seperti yang dilakukan oleh para makhluk.
Maka dari itu tidak sah dikatakan istawa 'ala al-makhluqat (bersemayam
di atas makhluk-makhluk) atau di atas langit atau di atas bumi kerana
Dia terlalu mulia untuk itu. Mengenai 'Arsy kami katakan bahawa Allah
Subhanahu wa Ta'ala bertahta dan bersemayam di atas 'Arsy-Nya. Kata
istawaa lebih khusus daripada kata 'uluw yang mutlak, maka dari itu
bersemayamnya Allah di atas singgasana-Nya termasuk sifat-sifat-Nya yang
fi'liyah yang berkaitan dengan kehendak-Nya, lain halnya dengan kata
'uluw, itu termasuk sifat-sifat dzatiyah-Nya, yang tidak lepas darinya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah secara terus terang menjelaskan
tentang hadith yang ada dalam bukunya Majmu' Al-Fatawa jilid V halaman
522, yang dikumpulkan oleh Ibnu Qasim, "Dengan demikian Allah bersemayam
di atas 'Arsy setelah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari.
Sebelum itu Dia tidak bersemayam di atas 'Arsy. Dikatakan bahwa kata
istawa' adalah cara bersemayam yang khusus. Segala sesuatu yang
bersemayam di atas sesuatu, dia berada di atasnya, tetapi tidak semua
yang berada di atas sesuatu tidak disebut dengan bersemayam dan bertahta
di atasnya, tetapi segala sesuatu yang bersemayam di atas sesuatu
bererti dia berada di atasnya." Itulah maksud yang sesungguhnya.
Sedangkan
perkataan kami "sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya" berarti
bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy adalah seperti sifat-sifat-Nya
yang lain, hanya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, yang tidak
sama dengan bersemayamnya manusia. Masalah ini bererti kembali kepada
masalah bagaimana bersemayamya Allah di atas 'Arsy itu, kerana sifat
mengikuti yang disifati. Sementara Allah adalah dzat yang tidak bisa
dibuat permisalannya dan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat
lainnya, seperti yang difirmankan Allah, "Tidak ada sesuatu pun yang
sepadan dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
(Asy-Syuura:11).
Tidak ada yang menyamai Allah dalam dzat dan sifat-Nya, maka dari itu,
Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang bersemayamnya Allah,
beliau menjawab, "Bersemayam adalah sesuatu yang dimengerti, tetapi
bagaimana bersemayamnya adalah sesuatu yang tidak masuk akal namun harus
diimani dan mempertanyakannya adalah bid'ah." Ini adalah ukuran untuk
semua sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan-Nya untuk Diri-Nya sendiri
dalam bentuk yang sesuai dengan-Nya tanpa mengubah, tanpa
mengada-ngada, tanpa mempertanyakan, dan tanpa membuat permisalan.
Dari
sini jelaslah faedah dari pendapat ini bahawa bersemayamnya Allah di
atas 'Arsy adalah bersemayam dengan cara yang khusus untuk-Nya, kerana
ketinggian secara umum adalah milik Allah, baik sebelum menciptakan
langit dan bumi, ketika menciptakan, mahupun sesudah menciptakan
keduanya; kerana hal itu termasuk sifat wajib-Nya, seperti Maha
Mendengar, Maha Melihat, Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya.
PENJELASAN LANGIT DAN 'ARSY
1. Lafadz “as samaa” (السما ء) menurut lughah/bahasa Arab ertinya “setiap yang tinggi dan berada diatas “
Berkata Az-Zujaaj (seorang imam ahli bahasa) :
ا لسما ء فى اللغة يقال : لكل ما ر تفع و علا
“(lafadz) as samaa/langit-langit didalam bahasa dikatakan : ‘ bagi setiap yang tinggi dan berada di atas
2.
Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi berada diatas tujuh langit
dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas :
والعرش لا يقدراحد قدره
“ Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya”
Allah
azza wa jalla istiwa-Nya di atas 'Arsy tidak tergantung kepada 'Arsy.
bahkan sekalian mahkluk termasuk Arsy brgantung kepada Allah Jalla wa
'alaa, Firman Allah subhanahu wa ta'ala :
إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Qs.al-Ankabut:6)
Yakni : Allah tidak berkeperluan kepada sekalian mahkluk
Di mana Allah sebelum terciptanya segala sesuatu ?
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: "كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ" (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: “Allah ada pada azal (Ada tanpa
permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al-Bukhari,
al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud) AKAN TETAPI HADITH INI TIDAK BERHENTI SAMPAI DISINI,
kerana
setelah itu Allah menciptakan ARSY diatas air tersebut ( وعرشه علئ
الماء), dalam riwayat Nafi’ bin Zaid al Himyari disebutkan
كَانَ
عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ خَلَقَ الْقَلَمَ فَقَالَ : اُكْتُبْ مَا
هُوَ كَائِن ، ثُمَّ خَلَقَ السَّمَوَات وَالْأَرْض وَمَا فِيهِنَّ "
Setelah
menciptakan ARSY-NYA diatas AIR, kemudian Allah menciptakan QOLAM
(pena) dan berfirman : " Tulislah apa yang akan terjadi " kemudian Allah
menciptakan LANGIT dan BUMI serta apa yang ada didalamnya.(Riwayat ini
menegaskan tentang urutan ciptaan setelah arsy dan air).
قَوْلُهُ : ( وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء ، وَكَتَبَ فِي الذِّكْر كُلَّ شَيْء ، وَخَلَقَ السَّمَوَات وَالْأَرْض )
“Arsy-Nya di atas air, dan Allah menuliskan segala sesuatu pada adz-dzikir, dan Allah menciptakan langit dan bumi”
Sementara dalam ilmu Tauhid mengatakan :
" ثُمَّ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالْأَرْض "
“ kemudian Allah menciptakan langit dan bumi “
Imam Muslim meriwayatkan dari hadith Abdullah bin Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam :
رَوَى
مُسْلِم مِنْ حَدِيث عَبْد اللَّه بْن عَمْرو مَرْفُوعًا " أَنَّ اللَّه
قَدَّرَ مَقَادِير الْخَلَائِق قَبْل أَنْ يَخْلُق السَّمَاوَات وَالْأَرْض
بِخَمْسِينَ أَلْف سَنَة وَكَانَ عَرْشه عَلَى الْمَاء "
“
Sesunguhnya Allah menetapkan kadar-kadar ciptaan sebelum menciptakan
langit dan bumi selama 50 ribu tahun, dan arsy-Nya berada diatas air”
Setelah Allah menciptakan langit dan bumi, arsy- Nya berada diatas langit
Pada 8 tempat Ia berfirman di Kitab-Nya yaitu :
أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض ) الملك /16. "
Apakah kamu ...merasa aman terhadap Allah yang di langit ...... Al-Mulk : 16
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى...
Ar rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa’ (thaha:5)
…ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ…
Kemudian Ia istawaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy(Qs Al A’araf:54)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs. Yunus : 3)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs. Ar ra’d:2)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.Al Furqan:59)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.As Sajdah:4)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.A; hadid:4)
Dan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang sangat masyhur
sekali yang diriwayatkan oleh banyak imam, di antaranya Al Imam Muslim
di Shahih-nya juz II hal. 70-71 :
حديث
الجارية: عن معاوية بن الحكم قال: وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى
غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ
فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ
بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً
فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ
ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ: «يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟» قَالَ:
”ائْتِنِي بِهَا“ فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَقَالَ لَهَا: ”أَيْنَ اللَّهُ“،
قَالَتْ: «فِي السَّمَاءِ.» قَالَ: ”مَنْ أَنَا“ قَالَتْ: «أَنْتَ رَسُولُ
اللَّهِ.» قَالَ: ”أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ“ [صحيح مسلم]
Beliau bertanya kepada budak perempuan ; “DIMANAKAH ALLAH ?”
Jawab budak perempuan ; “ DI ATAS LANGIT “
Beliau bertanya lagi : “ Siapa aku ?”
Jawab budak perempuan : “Engkau ialah Rasullullah shallallahu ‘alaihi wassalam.”
Beliau bersabda : “ Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan beriman)
Aqidah kita, bahwa kita meyakini ALLAH
ADA DIATAS LANGIT BERSEMAYAM/BERISTIWAA DI ATAS ‘ARSY-NYA YANG SESUAI
DENGAN KEBESARAN DAN KEMULIAAN-NYA SEBAGAIMANA NASH AL QUR’AN DAN
HADITH.
Imam Al-Bukhaariy berkata :
وقال ضمرة بن ربيعة عن صدقة سمعت سليمان التيمي يقول لو سئلت أين الله لقلت في السماء فإن قال فأين كان عرشه قبل السماء لقلت على الماء فإن قال فأين كان عرشه قبل الماء لقلت لا أعلم قال أبو عبد الله وذلك لقوله تعالى { ولا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء } يعني إلا بما بين
Telah berkata Dhamrah bin Rabii’ah, dari Shadaqah : Aku mendengar Sulaimaan At-Taimiy berkata : “Seandainya aku ditanya : ‘dimana Allah’, pasti akan aku menjawab : ‘di langit’. Jika ia berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum (diciptakan) langit ?’ ; akan aku jawab : ‘di atas air’. Jika ia kembali berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum (diciptakan) air ?’ ; akan aku jawab : ‘aku tidak tahu’
[Khalqu Af’alil-‘Ibaad oleh Al-Bukhaariy, 2/38 no. 64, tahqiq Fahd bin Sulaimaan Al-Fahiid; Daaru Athlas Al-Khadlraa’, Cet. 1/1425. Riwayat ini shahih. Diriwayatkan juga oleh Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 671, Ibnu Abi Syaibah dalam Kitaabul-‘Arsy no. 15, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 30609, dan Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah no. 194.].
وقال ضمرة بن ربيعة عن صدقة سمعت سليمان التيمي يقول لو سئلت أين الله لقلت في السماء فإن قال فأين كان عرشه قبل السماء لقلت على الماء فإن قال فأين كان عرشه قبل الماء لقلت لا أعلم قال أبو عبد الله وذلك لقوله تعالى { ولا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء } يعني إلا بما بين
Telah berkata Dhamrah bin Rabii’ah, dari Shadaqah : Aku mendengar Sulaimaan At-Taimiy berkata : “Seandainya aku ditanya : ‘dimana Allah’, pasti akan aku menjawab : ‘di langit’. Jika ia berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum (diciptakan) langit ?’ ; akan aku jawab : ‘di atas air’. Jika ia kembali berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum (diciptakan) air ?’ ; akan aku jawab : ‘aku tidak tahu’
[Khalqu Af’alil-‘Ibaad oleh Al-Bukhaariy, 2/38 no. 64, tahqiq Fahd bin Sulaimaan Al-Fahiid; Daaru Athlas Al-Khadlraa’, Cet. 1/1425. Riwayat ini shahih. Diriwayatkan juga oleh Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 671, Ibnu Abi Syaibah dalam Kitaabul-‘Arsy no. 15, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 30609, dan Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah no. 194.].
Keyakinan 4 Imam mazhab bahawa, ALLAH ADA DIATAS LANGIT BERSEMAYAM/BERISTIWAA DI ATAS ‘ARSY-
Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-[3], beliau berkata,
سألت
أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن
الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول
أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال
إذا أنكر أنه
في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku
bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan,
“Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?”
Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir kerana
Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah
menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.”
Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap
di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah
‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika
orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[5]
Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijrah Meyakini Allah di Atas Langit
Dari
Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah fahaman Jahmiyah, ia
mengatakan bahawa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari
Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
جاء
رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال
فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق
وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول
والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah
menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap
tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan
sesuatu (ertinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang
tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.”
Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ
غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ
وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ
أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat
dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui
maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban.
Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khuatir engkau
termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.
Inilah
perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan
rabi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.
Imam
Asy Syafi’i yang menjadi rujukan kenyakkan kaum muslimin di Nusantara
dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit
Syaikhul
Islam berkata bahwa telah mengkabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Khalil
bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada
kami Abul Qasim bin ‘Alqamah Al Abhariy, beliau berkata bahwa
Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami,
dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy
Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,
القول
في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم
فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان
محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه
كيف شاء وان الله
تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan
dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta ulamak hadith
meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya :
“Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan
benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan
Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di
atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu
Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah
Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian
beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqad) lainnya.
Imam Ahmad bin Hambal Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya
Adz Dzahabiy rahimahullah
mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di
atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Kerana beliaulah pembela
sunnah, sabar menghadapi cubaan, semuga beliau disaksikan sebagai ahli
syurga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an
itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini.
Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di
akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh
makhluk-Nya).”
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,
ما
معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال
علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب
ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahsia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”
Yang
dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah
mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala
sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap
tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan
bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi
langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل
لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه
بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان
Imam
Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada
di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya,
sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam
Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya,
setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”
Abu
Bakr Al Atsram mengatakan bahawa Muhammad bin Ibrahim Al Qaisi
mengkabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal
menceritakan dari Ibnul Mubarak ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami boleh mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarak menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.”
Tidak Perlu Disangsikan Lagi
Itulah
perkataan empat Imam Mazhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini
bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan
sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan atau pengakuan seluruh
ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah ini perlu diragukan oleh orang
yang jauh dari kebenaran?
1. TA’THIL (menghilangkan),
2. TA’WIL (mengganti arti ZHAHIR kepada erti yang lain),
3. TAMTSIL (menyerupakan dengan makhluk)
4. dan TAKYIF (bertanya bagaimana sifat Allah itu)
Sebagaimana firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang MenyerupaiNYA, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.(Qs.Asy Syura:11)
Bahagian YANG PERTAMA dari ayat yang mulia ini MENAFIKAN adanya penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Sedangkan penyerupaan bahagian YANG KEDUA MENETAPKAN (ITSBAT) adanya sifat-sifat Allah.
Keduanya wajib kita imani, yaitu tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan Allah tidak serupa dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya dan perbuatan-Nya.
Dan kitapun menetapkan nama dan sifat-Nya APA ADANYA tanpa TA’WIL dan seterusnya seperti di atas.
Dan tidaklah dikatakan meyerupakan Allah dengan makhluk-nya kalau kita MENETAPKAN BAHAWA Allah bersemayam di atas ‘Arsy, mempunyai wajah, tangan, mata, datang dan turun yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya
Dan tidaklah sama bersemayam-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, mata-Nya, datang-Nya, turun-Nya, ke langit dunia setiap sepertiga malam, yang akhir dan seterusnya dengan bersemayam, wajah, tangan makhluk-Nya.. Kecuali kalau kita mengatakan bahwa bersemayamnya Allah, wajah-Nya dan tangan-Nya sama atau serupa dengan bersemayamnya, wajah dan tangan makhluk-Nya.
Kalau MENETAPKAN nama dan sifat Allah dituduh menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH bertanya kepada ahli bid’ah dari kaum Jahmiyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, maturidiyyah, dan lain-lain :
“ Bukankah anda telah menetapkan ada DZAT bagi Allah dan manusia juga mempunyai DZAT , SAMAKAH ATAU SERUPAKAH DZAT ALLAH DENGAN DZAT MANUSIA ?
Wallahu a’lam
Selasa, 29 September 2015
Menjadi Manusia yang Ikhlas
Menjadi manusia yang bertakwa , beribadah penuh rasa syukur agar menjadi manusia yang diridhoi Ar Rohman (karena keridhoanNya jauh lebih besar): apabila manusia maka akan diridhoi di sisi Allah swt, bisa jadi manusia lebih tinggi derajatnya di sisi ALLAH SWT dari malaikat, namun jika kufur maka akan lebih rendah dari binatang... Wallahu'alam...
Salafus Salih dan Ahlul Bait
“Barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat banyak
perselisihan. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk mengikuti
Sunnah/ajaranku dan Sunnah/ajaran Khulafa’ ar-Rasyidin yang berpetunjuk.
Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara
yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih).
“Perumpamaan ahli bait-ku, seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang berada di atasnya ia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan tenggelam.”
(H.R. Thabrani)
“Aku meninggalkan kalian yang apabila kalian pegang teguh tidak akan tersesat. Kitab Allah, dan keturunanku.”
(H.R. Turmudzi)
“Umatku yang pertama kali aku beri pertolongan (Syafa’at) kelak di hari Kiamat, adalah yang mencintai Ahli bait-ku.”
(H.R. al-Dailami)
“Didiklah anak-anak kalian atas tiga hal. Mencintai Nabi kalian. Mencintai Ahli bait-ku. Membaca al-Qur’an.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardaweih, dan at-Thabrani dalam kitab tafsir-nya)
Ketika turun ayat:
“Katakanlah wahai Muhammad, Aku tidak meminta balasan apapun dari kalian kecuali mencintai kerabat.”
Kemudian Ibnu Abbas ra bertanya pada Rasulullah:
Wahai Rasulullah, siapakah yang dimaksud dengan kerabat yang wajib kami cintai? Rasulullah SAW menjawab: Ali, Fatimah, dan anak keturunannya.
Demikian sebagian dalil-dalil dari Hadits Rasulullah SAW yang secara jelas menyatakan keutamaan Ahlu Bait. Bagaimana tidak, di dalam jasad mereka mengalir darah yang bersambung kepada makhluk yang paling utama, kekasih Allah, Rasulullah SAW.
“Perumpamaan ahli bait-ku, seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang berada di atasnya ia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan tenggelam.”
(H.R. Thabrani)
“Aku meninggalkan kalian yang apabila kalian pegang teguh tidak akan tersesat. Kitab Allah, dan keturunanku.”
(H.R. Turmudzi)
“Umatku yang pertama kali aku beri pertolongan (Syafa’at) kelak di hari Kiamat, adalah yang mencintai Ahli bait-ku.”
(H.R. al-Dailami)
“Didiklah anak-anak kalian atas tiga hal. Mencintai Nabi kalian. Mencintai Ahli bait-ku. Membaca al-Qur’an.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardaweih, dan at-Thabrani dalam kitab tafsir-nya)
Ketika turun ayat:
“Katakanlah wahai Muhammad, Aku tidak meminta balasan apapun dari kalian kecuali mencintai kerabat.”
Kemudian Ibnu Abbas ra bertanya pada Rasulullah:
Wahai Rasulullah, siapakah yang dimaksud dengan kerabat yang wajib kami cintai? Rasulullah SAW menjawab: Ali, Fatimah, dan anak keturunannya.
Demikian sebagian dalil-dalil dari Hadits Rasulullah SAW yang secara jelas menyatakan keutamaan Ahlu Bait. Bagaimana tidak, di dalam jasad mereka mengalir darah yang bersambung kepada makhluk yang paling utama, kekasih Allah, Rasulullah SAW.
Keadaan Ruh dan Jasad Ketika di Alam Kubur
Assalamu’alaikum Ust,
Pertanyaan saya: ketika seseorang meninggal dunia berarti rohnya sudah dicabut oleh Allah sedangkan alam kubur atau alam barzah adalam alam ke empat di mana seseorang akan berada di sana untuk menunggu alam akhirat tiba. Bagaimana keadaan seseorang yang dalam kuburan itu? apakah rohnya yang sudah dicabut akan dikembalikan ke jasad yang sudah di dalam kuburan itu sehingga ia kembali utuh seperti waktu ia hidup dan menunggu hari kiamat? Bagaimana juga keadaan seseorang yang sudah dalam kuburan itu ketika menjawab pertanyaan dari malaikat? apakah malaikat bertanya kepada jasad yg sudah dikubur itu saja atau rohnya sudah dipasang lagi ketika malaikat mau bertanya padahal saat kita meninggal kan roh kita sudah dicabut. minta penjelasannya.Trimakasih sebelumnya.
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Marhamah yang dirahmati Allah swt
Didalam hadits yang diriwayatkan dari al Barro bin ‘Azib bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab kubur—beliau menyebutkan 2 atau 3 kali—kemudian berkata,’Sesungguhnya seorang hamba yang beriman apabila akan berakhir (hidupnya) di dunia dan akan mengawali akheratnya maka turunlah para malaikat dari langit dengan berwajah putih seperti matahari dengan membawa kain kafan dan wewangian dari surga dan mereka duduk disisinya sejauh mata memandang.
Kemudian datanglah malaikat maut dan duduk disebelah kepalanya dengan mengatakan,”Wahai jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan dari Allah dan keredhoan-Nya.’ Beliau saw bersabda,’Maka keluarlah ruhnya seperti tetesan air dari bibir orang yang sedang minum maka dia (malaikat maut) pun mengambilnya. Dan tatkala dia mengambilnya maka para malaikat (yang lain) tidaklah membiarkannya berada ditangannya walau hanya sesaat sehingga mereka mengambilnya dan menaruhnya diatas kafan yang terdapat wewangian hingga keluar darinya bau semerbak kesturi yang membuat wangi permukaan bumi.’
Beliau saw bersabda,’Mereka kemudian naik (ke langit) dengan membawa (ruh) orang itu dan tidaklah mereka melewati para malaikat kecuali mereka bertanya,’Ruh yang baik siapa ini?’ Mereka menjawab,’Fulan bin Fulan, dengan menyebutkan nama terbaik yang dimilikinya di dunia’ sehingga mereka berhenti di langit dunia. Mereka pun meminta agar dibukakan (pintu) baginya maka dibukalah (pintu itu) bagi mereka dan mereka berpindahlah ke langit berikutnya sehingga sampai ke langit ketujuh dan Allah mengatakan,’Tulislah kitab hamba-Ku ini di ‘illiyyin dan kembalikanlah ke bumi, sesungguhnya darinyalah Aku ciptakan mereka dan kepadanyalah Aku mengembalikan mereka dan darinya pula Aku mengeluarkan mereka sekali lagi.’
Beliau saw bersabda,’Dan ruh itu pun dikembalikan ke jasadnya. Kemudian datanglah dua malaikat yang mendudukannya dan bertanya kepadanya,’Siapa Tuhanmu?’ dia pun menjawab,’Tuhanku Allah.’ Keduanya bertanya lagi,’Apa agamamu?’ dia menjawab,’Agamaku Islam.’ Keduanya bertanya,’Siapa lelaki yang diutus kepada kalian ini?’ dia menjawab,’Dia adalah Rasulullah saw.’ Keduanya bertanya lagi,’Apa ilmumu?’ dia menjawab,’Aku membaca Al Qur’an, Kitab Allah, aku mengimaninya dan membenarkannya.’
Terdengarlah suara yang memanggil dari langit,’Karena kebenaran hamba-Ku maka hamparkanlah (suatu hamparan) dari surga, pakaikanlah dengan pakaian dari surga, bukakanlah baginya sebuah pintu menuju surga.’ Beliau saw bersabda,’maka terciumlah wanginya serta dilapangkan kuburnya sejauh mata memandang.’
Beliau bersabda,’Datanglah seorang laki-laki berwajah tampan, berbaju indah dengan baunya yang wangi mengatakan,’Bahagialah engkau di hari yang engkau telah dijanjikan.’ Orang (yang beriman) itu mengatakan,’Siapa angkau? Wajahmu penuh dengan kebaikan’ dia menjawab,’Aku adalah amal shalehmu.’ Orang itu mengatakan,’Wahai Allah, segerakanlah kiamat sehingga aku kembali kepada keluarga dan hartaku.’
Beliau saw bersabda,’Sesungguhnya seorang hamba yang kafir apabila akan berakhir (hidupnya) di dunia akan akan mengawali akheratnya maka turunlah para malaikat dari langit yang berwajah hitam dengan membawa kain dan merekapun duduk disisinya sejauh mata memandang kemudian datang malaikat maut dan duduk disebelah kepalanya dengan mengatakan,’Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju amarah dan murka Allah.’
Beliau saw bersabda,’maka dipisahkanlah ruh dari jasadnya seperti duri yang dicabut dari kain yang basah kemudian malaikat (maut) pun mengambilnya dan tatkala malaikat maut mengambilnya maka mereka (malaikat lain) tidaklah membiarkannya berada di tangannya walau sesaat sehingga meletakkannya dikain itu dan dibawanya dengan bau bangkai busuk yang meyebar di permukaan bumi. Mereka pun membawanya dan tidaklah mereka melintasi malaikat kecuali mereka bertanya,’Ruh buruk milik siapa ini?’ mereka menjawa,’Fulan bin Fulan dengan menyebutkan nama yang paling buruknya di dunia.’
Kemudian mereka sampai di langit dunia dan meminta untuk dibukakan (pintu) baginya maka tidaklah dibukakan baginya kemudian Rasulullah saw membaca firman-Nya,”Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga hingga unta masuk ke lobang jarum.” Kemudian Allah berkata,’Tulislah kitabnya di sijjin di bumi yang paling rendah maka ruhnya dilemparkan dengan satu lemparan. Kemudian beliau saw membaca,”Dan barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan ke tempat yang jauh.’
Ruhnya pun dikembalikan ke jasadnya dan datanglah dua malaikat mendudukannya seraya bertanya,”Siapa Tuhanmu?’ maka dia menjawab,’a..a… aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya.’Apa agamamu?’ dia menjawab,’a…a…aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya,’Siapa laki-laki yang diutus kepadamu ini?’ dia menjawab,’a…a…aku tidak tahu.’ Maka terdengar seruan dari langit.’ Karena pendustaan (nya) maka hamparkanlah (suatu hamparan) dari neraka dan bukakan baginya suatu pintu munuju neraka dan terasalah panas serta angin panasnya bagi orang itu dan dia pun dihimpit oleh kuburnya sehingga hancur tulang-tulangnya.
Datanglah seorang laki-laki yang berwajah buruk dengan pakaian yang bau busuk dan mengatakan,”Bergembiralah kamu dihari yang buruk bagimu yang telah dijanjikan ini.’ Orang itu berkata,’Siapa kamu dengan wajahmu yang penuh dengan kajahatan.’ Dia menjawab,’Aku adalah amal burukmu.’ Orang itu pun berkata,’Wahai Allah janganlah engkau adakan kiamat.” (HR. Ahmad)
Hadits diatas menjelaskan tentang keadaan ruh seseorang saat berpisah dari jasadnya pada saat sakaratul maut. Kemudahan saat itu dialami oleh seorang yang beriman sementara kesulitan yang luar biasa dialami oleh seorang yang kafir.
Hadits itu pun menjelaskan bahwa ruh yang dibawa menuju langit setelah terlepas dari jasadnya kemudian dikembalikan lagi ke jasadnya di bumi untuk merasakan fitnah kubur, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dua malaikat tentang siapa tuhannya, nabi-Nya dan agamanya.
Seorang yang beriman diberikan kemudahan didalam menjawab pertanyaan itu, sebagaimana janji Allah swt kepadanya, firman-Nya :
Sebaliknya dengan keadaan seorang yang kafir, ia tidak sanggup menjawab semua pertanyaan tersebut dikarenakan kekufurannya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits itu memberikan pengetahuan bahwa ruh tetap ada setelah berpisah dari badannya berbeda dengan orang-orang sesat dari kalangan ahli kalam. Ruh itu juga naik (ke langit) dan turun (darinya) berbeda dengan orang-orang sesat dari kalangan ahli ilsafat. Serta ruh dikembalikan ke badan lalu orang yang meninggal itu akan ditanya maka ia akan mendapatkan nikmat atau adzab sebagaimana pertanyaan yang diajukan oleh malaikat penanya. Didalam kubur itu amal shaleh atau buruknya akan mendatanginya dengan suatu bentuk yang baik atau buruk.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc
Pertanyaan saya: ketika seseorang meninggal dunia berarti rohnya sudah dicabut oleh Allah sedangkan alam kubur atau alam barzah adalam alam ke empat di mana seseorang akan berada di sana untuk menunggu alam akhirat tiba. Bagaimana keadaan seseorang yang dalam kuburan itu? apakah rohnya yang sudah dicabut akan dikembalikan ke jasad yang sudah di dalam kuburan itu sehingga ia kembali utuh seperti waktu ia hidup dan menunggu hari kiamat? Bagaimana juga keadaan seseorang yang sudah dalam kuburan itu ketika menjawab pertanyaan dari malaikat? apakah malaikat bertanya kepada jasad yg sudah dikubur itu saja atau rohnya sudah dipasang lagi ketika malaikat mau bertanya padahal saat kita meninggal kan roh kita sudah dicabut. minta penjelasannya.Trimakasih sebelumnya.
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Marhamah yang dirahmati Allah swt
Didalam hadits yang diriwayatkan dari al Barro bin ‘Azib bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab kubur—beliau menyebutkan 2 atau 3 kali—kemudian berkata,’Sesungguhnya seorang hamba yang beriman apabila akan berakhir (hidupnya) di dunia dan akan mengawali akheratnya maka turunlah para malaikat dari langit dengan berwajah putih seperti matahari dengan membawa kain kafan dan wewangian dari surga dan mereka duduk disisinya sejauh mata memandang.
Kemudian datanglah malaikat maut dan duduk disebelah kepalanya dengan mengatakan,”Wahai jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan dari Allah dan keredhoan-Nya.’ Beliau saw bersabda,’Maka keluarlah ruhnya seperti tetesan air dari bibir orang yang sedang minum maka dia (malaikat maut) pun mengambilnya. Dan tatkala dia mengambilnya maka para malaikat (yang lain) tidaklah membiarkannya berada ditangannya walau hanya sesaat sehingga mereka mengambilnya dan menaruhnya diatas kafan yang terdapat wewangian hingga keluar darinya bau semerbak kesturi yang membuat wangi permukaan bumi.’
Beliau saw bersabda,’Mereka kemudian naik (ke langit) dengan membawa (ruh) orang itu dan tidaklah mereka melewati para malaikat kecuali mereka bertanya,’Ruh yang baik siapa ini?’ Mereka menjawab,’Fulan bin Fulan, dengan menyebutkan nama terbaik yang dimilikinya di dunia’ sehingga mereka berhenti di langit dunia. Mereka pun meminta agar dibukakan (pintu) baginya maka dibukalah (pintu itu) bagi mereka dan mereka berpindahlah ke langit berikutnya sehingga sampai ke langit ketujuh dan Allah mengatakan,’Tulislah kitab hamba-Ku ini di ‘illiyyin dan kembalikanlah ke bumi, sesungguhnya darinyalah Aku ciptakan mereka dan kepadanyalah Aku mengembalikan mereka dan darinya pula Aku mengeluarkan mereka sekali lagi.’
Beliau saw bersabda,’Dan ruh itu pun dikembalikan ke jasadnya. Kemudian datanglah dua malaikat yang mendudukannya dan bertanya kepadanya,’Siapa Tuhanmu?’ dia pun menjawab,’Tuhanku Allah.’ Keduanya bertanya lagi,’Apa agamamu?’ dia menjawab,’Agamaku Islam.’ Keduanya bertanya,’Siapa lelaki yang diutus kepada kalian ini?’ dia menjawab,’Dia adalah Rasulullah saw.’ Keduanya bertanya lagi,’Apa ilmumu?’ dia menjawab,’Aku membaca Al Qur’an, Kitab Allah, aku mengimaninya dan membenarkannya.’
Terdengarlah suara yang memanggil dari langit,’Karena kebenaran hamba-Ku maka hamparkanlah (suatu hamparan) dari surga, pakaikanlah dengan pakaian dari surga, bukakanlah baginya sebuah pintu menuju surga.’ Beliau saw bersabda,’maka terciumlah wanginya serta dilapangkan kuburnya sejauh mata memandang.’
Beliau bersabda,’Datanglah seorang laki-laki berwajah tampan, berbaju indah dengan baunya yang wangi mengatakan,’Bahagialah engkau di hari yang engkau telah dijanjikan.’ Orang (yang beriman) itu mengatakan,’Siapa angkau? Wajahmu penuh dengan kebaikan’ dia menjawab,’Aku adalah amal shalehmu.’ Orang itu mengatakan,’Wahai Allah, segerakanlah kiamat sehingga aku kembali kepada keluarga dan hartaku.’
Beliau saw bersabda,’Sesungguhnya seorang hamba yang kafir apabila akan berakhir (hidupnya) di dunia akan akan mengawali akheratnya maka turunlah para malaikat dari langit yang berwajah hitam dengan membawa kain dan merekapun duduk disisinya sejauh mata memandang kemudian datang malaikat maut dan duduk disebelah kepalanya dengan mengatakan,’Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju amarah dan murka Allah.’
Beliau saw bersabda,’maka dipisahkanlah ruh dari jasadnya seperti duri yang dicabut dari kain yang basah kemudian malaikat (maut) pun mengambilnya dan tatkala malaikat maut mengambilnya maka mereka (malaikat lain) tidaklah membiarkannya berada di tangannya walau sesaat sehingga meletakkannya dikain itu dan dibawanya dengan bau bangkai busuk yang meyebar di permukaan bumi. Mereka pun membawanya dan tidaklah mereka melintasi malaikat kecuali mereka bertanya,’Ruh buruk milik siapa ini?’ mereka menjawa,’Fulan bin Fulan dengan menyebutkan nama yang paling buruknya di dunia.’
Kemudian mereka sampai di langit dunia dan meminta untuk dibukakan (pintu) baginya maka tidaklah dibukakan baginya kemudian Rasulullah saw membaca firman-Nya,”Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga hingga unta masuk ke lobang jarum.” Kemudian Allah berkata,’Tulislah kitabnya di sijjin di bumi yang paling rendah maka ruhnya dilemparkan dengan satu lemparan. Kemudian beliau saw membaca,”Dan barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan ke tempat yang jauh.’
Ruhnya pun dikembalikan ke jasadnya dan datanglah dua malaikat mendudukannya seraya bertanya,”Siapa Tuhanmu?’ maka dia menjawab,’a..a… aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya.’Apa agamamu?’ dia menjawab,’a…a…aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya,’Siapa laki-laki yang diutus kepadamu ini?’ dia menjawab,’a…a…aku tidak tahu.’ Maka terdengar seruan dari langit.’ Karena pendustaan (nya) maka hamparkanlah (suatu hamparan) dari neraka dan bukakan baginya suatu pintu munuju neraka dan terasalah panas serta angin panasnya bagi orang itu dan dia pun dihimpit oleh kuburnya sehingga hancur tulang-tulangnya.
Datanglah seorang laki-laki yang berwajah buruk dengan pakaian yang bau busuk dan mengatakan,”Bergembiralah kamu dihari yang buruk bagimu yang telah dijanjikan ini.’ Orang itu berkata,’Siapa kamu dengan wajahmu yang penuh dengan kajahatan.’ Dia menjawab,’Aku adalah amal burukmu.’ Orang itu pun berkata,’Wahai Allah janganlah engkau adakan kiamat.” (HR. Ahmad)
Hadits diatas menjelaskan tentang keadaan ruh seseorang saat berpisah dari jasadnya pada saat sakaratul maut. Kemudahan saat itu dialami oleh seorang yang beriman sementara kesulitan yang luar biasa dialami oleh seorang yang kafir.
Hadits itu pun menjelaskan bahwa ruh yang dibawa menuju langit setelah terlepas dari jasadnya kemudian dikembalikan lagi ke jasadnya di bumi untuk merasakan fitnah kubur, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dua malaikat tentang siapa tuhannya, nabi-Nya dan agamanya.
Seorang yang beriman diberikan kemudahan didalam menjawab pertanyaan itu, sebagaimana janji Allah swt kepadanya, firman-Nya :
يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ
الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللّهُ
الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللّهُ مَا يَشَاء
Artinya : “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang dia
kehendaki.” (QS. Ibrahim : 27)Sebaliknya dengan keadaan seorang yang kafir, ia tidak sanggup menjawab semua pertanyaan tersebut dikarenakan kekufurannya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits itu memberikan pengetahuan bahwa ruh tetap ada setelah berpisah dari badannya berbeda dengan orang-orang sesat dari kalangan ahli kalam. Ruh itu juga naik (ke langit) dan turun (darinya) berbeda dengan orang-orang sesat dari kalangan ahli ilsafat. Serta ruh dikembalikan ke badan lalu orang yang meninggal itu akan ditanya maka ia akan mendapatkan nikmat atau adzab sebagaimana pertanyaan yang diajukan oleh malaikat penanya. Didalam kubur itu amal shaleh atau buruknya akan mendatanginya dengan suatu bentuk yang baik atau buruk.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc
Ainul Mardhiah
Ainul Mardhiah
adalah seorang bidadari yang paling cantik di surga yang Allah ciptakan untuk
sesiapa yang mati syahid berjuang di jalan Allah. Secara bahasa Ainul Mardhiah
berarti mata yang diridhai. Atau setiap pandangan yang melihatnya pasti akan
menemukan keridhaan di hati. Kisah Ainul Mardhiah diceriterakan dalam Hadits
Nabi riwayat Tirmidzi : Ketika pagi hari di bulan Ramadhan, Nabi sedang memberikan targhib (semangat untuk
berjihad) kepada pasukan Islam. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya orang yang mati syahid karena
berjihad di jalan Alloh, maka Alloh akan
menganugerahkannya Ainul Mardhiah, bidadari
paling cantik di surga”.
Salah satu
sahabat yang masih muda yang mendengar cerita itu menjadi penasaran. Namun, karena malu kepada Nabi dan sahabat-sahabat
lain, sahabat ini tidak jadi mencari
tahu lebih dalam mengenai Ainul Mardhiah. Waktu Zuhur sebentar lagi, sesuai sunah Rasul, para sahabat dipersilakan untuk tidur sejenak
sebelum pergi berperang. Bersama kafilah perangnya pun sahabat yang satu ini
tidur terlelap dan sampai bermimpi. Di dalam mimpinya dia berada di tempat yang
sangat indah yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Dia pun bertemu dengan
seorang wanita yang sangat cantik yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia pun
bertanya kepada wanita tersebut, “Di
manakah ini?”. “Inilah surga.”, jawab
wanita itu. Kemudian sahabat ini bertanya lagi, “Apakah Anda Ainul Mardhiah?”. “Bukan, saya bukan Ainul Mardhiah. Kalau Anda ingin
bertemu dengan Ainul Mardhiah, dia
sedang berada di bawah pohon yang rindang itu.” Didapatinya oleh sahabat itu
seorang wanita yang kecantikannya berkali-kali lipat dari wanita pertama yang
ia lihat. “Apakah Anda Ainul Mardhiah?” “Bukan saya ini penjaganya. Kalau Anda
ingin bertemunya di sanalah singgasananya.” Lalu sahabat ini pun pergi ke
singgasana tersebut dan sampailah ke suatu mahligai. Didapatinya seorang wanita
yang kecantikannya berlipat-lipat dari wanita sebelumnya yang sedang
mengelap-ngelap perhiasan.
Sahabat ini
pun memberanikan diri untuk bertanya. “Apakah Anda Ainul Mardhiah?” “Bukan, saya bukan Ainul Mardhiah. Saya penjaganya di
mahligai ini. Jika Anda ingin menemuinya, temuilah ia di mahligai itu.” Pemuda itu pun
beranjak dan sampailah ke mahligai yang ditunjukkan. Didapatinya seorang wanita
yang kecantikannya berlipat-lipat dari wanita sebelumnya dan sangat pemalu.
Pemuda itu pun bertanya. “Apakah Anda Ainul Mardhiah?” “Ya, benar saya Ainul Mardhiah” Pemuda itu pun
mendekat, tetapi Ainul Mardhiah
menghindar dan berkata, “Anda bukan
seorang yang mati syahid.” Seketika itu juga pemuda itu terbangun dari
mimpinya. Dia pun menceritakan ceritanya ini kepada seorang sahabat
kepercayaannya yang dimohonkan untuk merahasiakannya sampai ia mati syahid.
Komando jihad pun menggelora. Sahabat ini pun dengan semangatnya berjihad untuk
dapat bertemu dengan Ainul Mardhiah. Ia pun akhirnya mati syahid. Di petang
hari ketika buka puasa, sahabat
kepercayaan ini menceritakan mimpi sahabat yang mati syahid ini kepada Nabi.
Nabi pun membenarkan mimpi sahabat muda ini dan Nabi bersabda, “Sekarang ia bahagia bersama Ainul Mardhiah”.
… سُبْحَانَ اللّهُ وَاَلْحَمْدُلِلّهِ وَلاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللّهُ. اَللّهُ
اَكْبَرُ …
Bidadari
merupakan salah satu anugerah Allah kepada seorang lelaki yang memasuki syurga.
Bagi seorang wanita yang solehah maka bidadari bagi suaminya adalah dikalangan
bidadar-bidadari kurniaan Allah dan dia (isteri solehah merupakan ketua kepada
segala bidadari- bidadari).
Berjihad/berdakwah
untuk agama Allah S.W.T merupakan satu amalan yang akan menjadi kesukaan Allah
S.W.T dan ini merupakan sunnah besar nabi S.W.T dan kalangan sahabat-sahabat
r.hum. Setiap manusia yang mati walaupun berapa umurnya maka akan ditanya
dimanakah masa mudanya dihabiskan.
Rasulullah
S.W.T bersabda: “Tidak akan berganjak kaki anak Adam di Hari Kiamat hingga
disoal tentang empat perkara: tentang usianya pada apa dihabiskannya, tentang masa mudanya apa yang telah
diperjuangkannya, tentang hartanya dari
mana datangnya dan ke mana telah dibelanjakannya dan tentang ilmunya apa yang
telah dibuatnya.” (Hadith sahih riwayat Tirmizi)
Ainul Mardhiah (bidadari untuk
orang yang berjihad/berdakwah untuk agama Allah S.W.T.)
"Seakan-akan bidadari itu
permata yakut dan marjan." QS. ar-Rahman (55) : 58
"Di dalam surga-surga itu
ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik." QS. ar-Rahman
(55) : 70
"(Bidadari-bidadari) yang
jelita, putih bersih dipingit dalam
rumah." QS. ar-Rahman (55) : 72
"Mereka tidak pernah
disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi
suami mereka) dan tidak pula oleh jin." QS. ar-Rahman (55) : 74
'Ainul
Mardhiah merupakan seorang bidadari yang paling cantik dalam kalangan bidadari-bidadari
yang lain (bermaksud mata yang di redhai). Suatu pagi (dalam bulan puasa)
ketika nabi memberi targhib (berita-berita semangat di kalangan sahabat untuk
berjihad/berdakwah untuk agama Allah) katanya siapa-siapa yang keluar di jalan
Allah tiba-tiba ia syahid, maka dia akan
dianugerahkan seorang bidadari yang paling cantik dalam kalangan
bidadari-bidadari syurga.
Mendengar
berita itu seorang sahabat yang usianya muda teringin sangat hendak tahu
bagaimana cantiknya bidadari tersebut, tetapi di sebabkan sahabat ini malu hendak
bertanyakan kepada nabi S.W.T, kerana
malu kepada sahabat-sahabat yang lain. Namun dia tetap memberi nama sebagai
salah sorang yang akan keluar di jalan Allah.
MENJAWAB KERANCUAN SEPUTAR PENULISAN MUSHAF AL - QUR’AN DI ZAMAN UTSMAN BIN AFFAN Rodhiyallohu ‘anhu
Musuh-musuh islam senantiasa ingin meruntuhkan islam dengan segenap
cara. Keimanan terhadap Al Qur’an yang memiliki posisi sedemikian
strategis tak luput dari incaran mereka. Salah satu usaha yang mereka
lakukan untuk menebar keraguan terhadap Al Qur’an adalah memberikan
persepsi yang lemah dan kabur mengenai sejarah pembukuan Al Qur’an.
Mereka ingin menunjukkan sebuah fakta palsu bahwa Al Qur’an -dalam
sejarahnya- memiliki banyak versi yang membingungkan, dan tidak ada yang
bisa menjamin bahwa mush-haf yang ada di tangan kita saat ini adalah benar-benar Al Qur’an, kalamullah. Allahummanshurnaa ‘alal qoumil kaafiriin! (http://forum.muslim-menjawab.com/2012/01/27/menjawab-gugatan-tentang-pembukuan-al-quran/)
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar penulisan mushaf (khususnya di zaman Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu), yaitu:
1. Apakah pada zaman Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dilakukan penulisan ulang, menyelisihi penulisan di zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu?
2. Apakah para sahabat sepakat akan penyatuan mushaf dan pembakaran mushaf dengan 6 qiro’ah yang lainnya?
3. Al Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf” tersebut tidak mencakup secara keseluruhan, berarti Mushhaf ini telah menghilangkan banyak bagian dari Al Qur’an!?
4. Dengan tujuh bacaan yang berbeda (yang bisa menyebabkan perbedaan makna) bisa sangat mungkin syariat diselewengkan dari tahun ke tahun!?
Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Asy-Syinqithi rohimahulloh (2/225) berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan.
Al-Qurthubi rohimahulloh (10/5) mengatakan, Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan. Lalu beliau menyebutkan ucapan Qatadah dan Tsabit al-Bunani, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari upaya setan yang ingin menambahkan kebatilan ke dalamnya dan mengurangi kebenarannya, sehingga Al-Qur’an tetap terpelihara.”
Al-Imam Al-Baidhawi rohimahulloh (3/362) mengatakan, “Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap sikap orang-orang kafir yang senantiasa mengingkari dan memperolok-olok Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menguatkannya (Al-Qur’an) dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maksudnya, memeliharanya dari penyimpangan, baik huruf maupun makna, dan penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu keajaiban (mukjizat), guna membedakan apa yang tertera padanya dengan ucapan manusia.”
Kata asy-Syaikh as-Sa’di rohimahulloh, “Al-Qur’an terpelihara saat diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya. Adapun setelah diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala menyimpannya di hati Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian di hati umatnya. Allah subhanahu wa ta’ala menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian. ……”
Ath-Thabari rohimahulloh (14/8) berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan kebatilan yang bukan bagian darinya, atau pengurangan hukum, batasan, dan kewajiban yang seharusnya ada padanya.” (http://asysyariah.com/hadits-terpelihara-sebagaimana-al-quran.html)
Dengan demikian, sebagai seorang muslim, kita harus yakin bahwa Al-Quran yang ada di hadapan kaum muslimin saat ini, itulah yang diwahyukan oleh Alloh kepada Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam, baik huruf, lafadz, maupun maknanya SAMA, tidak ada penambahan maupun pengurangan. Alhamdulillahi bini’matihi tatimmush shoolihaat.
Tahap-Tahap Penulisan dan Pengumpulan Al-Qur’an
Sebelumnya perlu diketahui dulu bahwa penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama. Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya.Para sahabat yang menghafal Al-Qur’an antara lain: Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum. Baca juga: http://www.alsofwa.com/14950/178-quran-pengumpulan-al-quran-dalam-artian-penulisannya-pada-zaman-nabi.html
Tahap Kedua. Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun 12 Hijriyah.
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukhari [Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. (http://almanhaj.or.id/content/2198/slash/0/penulisan-al-quran-dan-pengumpulannya/). Baca juga http://www.alsofwa.com/14952/180-quran-pengumpulan-al-quran-pada-masa-abu-bakar-radhiyallahu-anhu.html
Tahap Ketiga. Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun 20 Hijriyah.
Pembahasan inilah yang akan sedikit dipanjangkan.
Di antara jasa beliau yang besar dan kebaikan beliau yang agung, bahwa beliau telah menyatukan kaum muslimin pada satu qira’ah dan dituliskannya bacaan al-Qur’an terakhir yang diajarkan oleh Jibril kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, yakni ketika Jibril mendiktekan al-Qur’an kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam pada tahun terakhir masa hidup beliau.
Latar belakang penyatuan mushaf ini adalah Hudzaifah bin al-Yaman ikut serta dalam beberapa peperangan. Pada pasukan tersebut berkumpul orang-orang dari Syam yang mengambil bacaan dari Qira’ah al-Miqdad bin al-Aswad dan Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhum dan sekelompok penduduk Iraq yang mengambil bacaan dari Qira’ah Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa rodhiyallohu ‘anhum. Bagi yang tidak mengetahui bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh bacaan, mengutamakan bacaannya dari pada bacaan yang lain bahkan terkadang menyalahkan bacaan yang lain atau sampai pada pengkafiran.
Hal itu membuka jurang perselisihan sehingga tersebarlah ucapan-ucapan jelek di kalangan masyarakat. Maka berangkatlah Hudzaifah bin al-Yaman rodhiyallohu ‘anhu menghadap Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu dan berkata, “Ya Amirul Mukminin! Benahi umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitab mereka sebagaimana perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenai kitab mereka.” Kemudian Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu menceritakan apa yang ia saksikan mengenai perselisihan yang terjadi di tengah kaum muslimin. Pada saat itu Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka untuk memusyawarahkan perkara tersebut. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an harus ditulis dalam satu Qira’ah (bacaan) dan menyatukan seluruh daerah pada satu bacaan saja untuk menghentikan perselisihan dan menghindari perpecahan.
Beliau meminta lembaran-lembaran al-Qur’an yang dulu dipakai Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu dan memerintahkan Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu untuk mengumpulkannya. Lembaran ini dipakai Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ketika masih hidup kemudian dipakai oleh Umar bin Khaththab rodhiyallohu ‘anhu. Setelah Umar rodhiyallohu ‘anhu wafat lembaran-lembaran al-Qur’an tersebut berada di tangan Hafshah Ummul Mukminin rodhiyallohu ‘anha. Lantas Utsman memintanya dan memerintahkan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Sa’id bin ‘Ash al-Umawy dengan disaksikan oleh Abdullah bin Zubair al-Asady, dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam al-Makhzumy rodhiyallohu ‘anhum. Beliau memerintahkan juga jika mereka berselisih pendapat maka tulislah yang sesuai dengan bahasa Arab Quraisy. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Maka ditulislah satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk Syam, satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk mesir, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Bashrah, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Kufah, begitu juga ke Makkah dan Yaman dan satu mushaf al-Qur’an untuk Madinah. Mushaf-mushaf ini disebut dengan Mushaf al-Aimmah atau al-Utsmaniyah. Mushaf tersebut bukan hasil tulisan Utsman rodhiyallohu ‘anhu tetapi tulisan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu. Dikatakan mushaf al-Utsmaniyah karena ditulis berdasarkan perintah beliau, pada zaman pemerintahan beliau, sebagaimana penamaan Dinar Hiraklius, karena dibuat pada masa pemerintahannya.
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan semua mushaf yang beredar di kalangan masyarakat yang berbeda dengan mushaf tersebut lalu membakarnya agar tidak lagi timbul perselisihan. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Abu Bakar bin Dawud berkata tentang penulisan mushaf tersebut, “Muhammad bin Basyar telah mengatakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far dan Abdur Rahman telah mengatakan kepada kami, Syu’bah bin Alqamah bin Martsad telah mengatakan kepada kami dari seseorang dari Suwaid bin Ghaflah ia berkata, ‘Ali bin Abi Thalib rodhiyallohu ‘anhu berkata kepadaku ketika Utsman rodhiyallohu ‘anhu membakar mushaf-mushaf tersebut, ‘Jika Utsman tidak melakukannya niscaya aku yang akan melakukannya (yaitu penulisan mushaf).’ Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thiyalisi dan Amr bin Marzuq dari Syu’bah dengan matan yang sama’.
Al-Baihaqi dan lainnya meriwayatkannya dari hadits Muhammad bin Aban -suami saudara perempuan Husain- dari ‘Alqamah bin martsad berkata, “Aku mendengar al-‘Aizar bin Huraits berkata, ‘Aku mendengar Suwaid bin Ghaflah berkata, ‘Ali rodhiyallohu ‘anhu berkata, ‘Wahai hadirin sekalian! Janganlah kalian berlebihan dalam mensikapi Utsman, kalian katakan ia telah membakar mushaf-mushaf. Demi Allah dia tidak membakarnya melainkan di hadapan sekumpulan sahabat Muhammad. Jikalau aku yang ditugaskan, tentunya akan aku lakukan sebagaimana yang telah dia lakukan‘.”(al-Hafizh Ibnu Hajar telah menshahihkan sanadnya di dalam Fathul Bari, 9/18. Menurut saya (Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami), orang yang disebut sebagai “orang yang tak dikenal” dalam riwayat Abu Dawud adalah al-Aizar bin Nuraits)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia mencela ketika mushaf yang di tangannya diambil dan dibakar, dan mengatakan bahwa ia lebih dahulu masuk Islam dari pada Zaid bin Tsabit penulis mushaf tersebut dan menyuruh murid-muridnya untuk menyembunyikan mushaf-mushaf mereka dengan membacakan Firman Allah,
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, makapada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.”(Al. Imran: 161).
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengirimkan sepucuk surat kepada beliau yangisinya mengajak Ibnu Mas’ud untuk mengikuti para sahabat yang telah sepakat atas suatu kemaslahatan serta mengajaknya agar bersatu dan jangan berselisih. Maka Ibnu Mas’ud rujuk dan menyambut ajakan tersebut serta meninggalkan perselisihan (Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9/19 berkata, “Udzur bagi Utsman rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia melakukannya (penulisan mushaf) di ‘madinah sementara Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah. Utsman rodhiyallohu ‘anhu tidak menunda tekad tersebut hingga ia mengirim surat kepada Ibnu Mas’ud dan menyuruhnya untuk hadir. Dan Utsman rodhiyallohu ‘anhu menginginkan agar mushaf yang dikumpulkan pada zaman pemerintahan Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu menjadi satu mushaf saja. Dan yang menulis mushaf pada masa Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ialah Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu)
Abu Ishaq meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Yazid, ia berkata, bahwasanya Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu masuk ke masjid Mina seraya berkata, “Berapa raka’at amirul mukminin mengerjakan shalat Zhuhur?” Mereka menjawab, Empat rakaat.” Kemudian ia mengerjakan shalat empat rakaat. Mereka berkata, “Bukankah engkau telah menyampaikan kepada kami bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar dan Umar mengerjakannya dua rakaat ?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Benar dan sekarang akan aku ceritakan hal itu kepada kalian, tetapi aku benci dengan perselisihan.” Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Perselisihan itu jelek.” Dan berkata, “Bagianku dari yang empat rakaat ini adalah dua rakaat yang maqbul.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitab Mengqashar shalat pada Bab Shalat di Mina dengan jaian yang sama, 2/563-Fathul Bari. Demikian juga Abu Dawud dalam Sunannya dalam Kitab Manasik Haji pada Bab Shalat : 2/491.)
Jika Ibnu Mas’ud mengikuti Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang permasalahan furu’ (cabang) tentunya ia juga akan mengikuti Utsman rodhiyallohu ‘anhu pada asal al-Quran dan mencontohnya pada bacaan yang manusia diperintahkan untuk membacanya dengan bacaan tersebut.
Agar lebih jelas dalam menjawab kedua pertanyaan tersebut maka perlu diulas juga tentang:
Perbedaan Antara Pengumpulan Al-qur’an Di Zaman Abu Bakar dan ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhumaa (http://www.alsofwa.com/14956/184-quran-perbedaan-antara-pengumpulan-al-quran-di-zaman-abu-bakar-dan-utsman-radhiyallahu-anhumaa.html)
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar penulisan mushaf (khususnya di zaman Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu), yaitu:
1. Apakah pada zaman Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dilakukan penulisan ulang, menyelisihi penulisan di zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu?
2. Apakah para sahabat sepakat akan penyatuan mushaf dan pembakaran mushaf dengan 6 qiro’ah yang lainnya?
3. Al Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf” tersebut tidak mencakup secara keseluruhan, berarti Mushhaf ini telah menghilangkan banyak bagian dari Al Qur’an!?
4. Dengan tujuh bacaan yang berbeda (yang bisa menyebabkan perbedaan makna) bisa sangat mungkin syariat diselewengkan dari tahun ke tahun!?
Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Asy-Syinqithi rohimahulloh (2/225) berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan.
Al-Qurthubi rohimahulloh (10/5) mengatakan, Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan. Lalu beliau menyebutkan ucapan Qatadah dan Tsabit al-Bunani, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari upaya setan yang ingin menambahkan kebatilan ke dalamnya dan mengurangi kebenarannya, sehingga Al-Qur’an tetap terpelihara.”
Al-Imam Al-Baidhawi rohimahulloh (3/362) mengatakan, “Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap sikap orang-orang kafir yang senantiasa mengingkari dan memperolok-olok Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menguatkannya (Al-Qur’an) dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maksudnya, memeliharanya dari penyimpangan, baik huruf maupun makna, dan penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu keajaiban (mukjizat), guna membedakan apa yang tertera padanya dengan ucapan manusia.”
Kata asy-Syaikh as-Sa’di rohimahulloh, “Al-Qur’an terpelihara saat diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya. Adapun setelah diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala menyimpannya di hati Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian di hati umatnya. Allah subhanahu wa ta’ala menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian. ……”
Ath-Thabari rohimahulloh (14/8) berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan kebatilan yang bukan bagian darinya, atau pengurangan hukum, batasan, dan kewajiban yang seharusnya ada padanya.” (http://asysyariah.com/hadits-terpelihara-sebagaimana-al-quran.html)
Dengan demikian, sebagai seorang muslim, kita harus yakin bahwa Al-Quran yang ada di hadapan kaum muslimin saat ini, itulah yang diwahyukan oleh Alloh kepada Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam, baik huruf, lafadz, maupun maknanya SAMA, tidak ada penambahan maupun pengurangan. Alhamdulillahi bini’matihi tatimmush shoolihaat.
Tahap-Tahap Penulisan dan Pengumpulan Al-Qur’an
Sebelumnya perlu diketahui dulu bahwa penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama. Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya.Para sahabat yang menghafal Al-Qur’an antara lain: Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum. Baca juga: http://www.alsofwa.com/14950/178-quran-pengumpulan-al-quran-dalam-artian-penulisannya-pada-zaman-nabi.html
Tahap Kedua. Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun 12 Hijriyah.
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukhari [Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. (http://almanhaj.or.id/content/2198/slash/0/penulisan-al-quran-dan-pengumpulannya/). Baca juga http://www.alsofwa.com/14952/180-quran-pengumpulan-al-quran-pada-masa-abu-bakar-radhiyallahu-anhu.html
Tahap Ketiga. Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun 20 Hijriyah.
Pembahasan inilah yang akan sedikit dipanjangkan.
Di antara jasa beliau yang besar dan kebaikan beliau yang agung, bahwa beliau telah menyatukan kaum muslimin pada satu qira’ah dan dituliskannya bacaan al-Qur’an terakhir yang diajarkan oleh Jibril kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, yakni ketika Jibril mendiktekan al-Qur’an kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam pada tahun terakhir masa hidup beliau.
Latar belakang penyatuan mushaf ini adalah Hudzaifah bin al-Yaman ikut serta dalam beberapa peperangan. Pada pasukan tersebut berkumpul orang-orang dari Syam yang mengambil bacaan dari Qira’ah al-Miqdad bin al-Aswad dan Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhum dan sekelompok penduduk Iraq yang mengambil bacaan dari Qira’ah Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa rodhiyallohu ‘anhum. Bagi yang tidak mengetahui bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh bacaan, mengutamakan bacaannya dari pada bacaan yang lain bahkan terkadang menyalahkan bacaan yang lain atau sampai pada pengkafiran.
Hal itu membuka jurang perselisihan sehingga tersebarlah ucapan-ucapan jelek di kalangan masyarakat. Maka berangkatlah Hudzaifah bin al-Yaman rodhiyallohu ‘anhu menghadap Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu dan berkata, “Ya Amirul Mukminin! Benahi umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitab mereka sebagaimana perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenai kitab mereka.” Kemudian Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu menceritakan apa yang ia saksikan mengenai perselisihan yang terjadi di tengah kaum muslimin. Pada saat itu Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka untuk memusyawarahkan perkara tersebut. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an harus ditulis dalam satu Qira’ah (bacaan) dan menyatukan seluruh daerah pada satu bacaan saja untuk menghentikan perselisihan dan menghindari perpecahan.
Beliau meminta lembaran-lembaran al-Qur’an yang dulu dipakai Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu dan memerintahkan Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu untuk mengumpulkannya. Lembaran ini dipakai Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ketika masih hidup kemudian dipakai oleh Umar bin Khaththab rodhiyallohu ‘anhu. Setelah Umar rodhiyallohu ‘anhu wafat lembaran-lembaran al-Qur’an tersebut berada di tangan Hafshah Ummul Mukminin rodhiyallohu ‘anha. Lantas Utsman memintanya dan memerintahkan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Sa’id bin ‘Ash al-Umawy dengan disaksikan oleh Abdullah bin Zubair al-Asady, dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam al-Makhzumy rodhiyallohu ‘anhum. Beliau memerintahkan juga jika mereka berselisih pendapat maka tulislah yang sesuai dengan bahasa Arab Quraisy. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Maka ditulislah satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk Syam, satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk mesir, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Bashrah, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Kufah, begitu juga ke Makkah dan Yaman dan satu mushaf al-Qur’an untuk Madinah. Mushaf-mushaf ini disebut dengan Mushaf al-Aimmah atau al-Utsmaniyah. Mushaf tersebut bukan hasil tulisan Utsman rodhiyallohu ‘anhu tetapi tulisan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu. Dikatakan mushaf al-Utsmaniyah karena ditulis berdasarkan perintah beliau, pada zaman pemerintahan beliau, sebagaimana penamaan Dinar Hiraklius, karena dibuat pada masa pemerintahannya.
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan semua mushaf yang beredar di kalangan masyarakat yang berbeda dengan mushaf tersebut lalu membakarnya agar tidak lagi timbul perselisihan. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Abu Bakar bin Dawud berkata tentang penulisan mushaf tersebut, “Muhammad bin Basyar telah mengatakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far dan Abdur Rahman telah mengatakan kepada kami, Syu’bah bin Alqamah bin Martsad telah mengatakan kepada kami dari seseorang dari Suwaid bin Ghaflah ia berkata, ‘Ali bin Abi Thalib rodhiyallohu ‘anhu berkata kepadaku ketika Utsman rodhiyallohu ‘anhu membakar mushaf-mushaf tersebut, ‘Jika Utsman tidak melakukannya niscaya aku yang akan melakukannya (yaitu penulisan mushaf).’ Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thiyalisi dan Amr bin Marzuq dari Syu’bah dengan matan yang sama’.
Al-Baihaqi dan lainnya meriwayatkannya dari hadits Muhammad bin Aban -suami saudara perempuan Husain- dari ‘Alqamah bin martsad berkata, “Aku mendengar al-‘Aizar bin Huraits berkata, ‘Aku mendengar Suwaid bin Ghaflah berkata, ‘Ali rodhiyallohu ‘anhu berkata, ‘Wahai hadirin sekalian! Janganlah kalian berlebihan dalam mensikapi Utsman, kalian katakan ia telah membakar mushaf-mushaf. Demi Allah dia tidak membakarnya melainkan di hadapan sekumpulan sahabat Muhammad. Jikalau aku yang ditugaskan, tentunya akan aku lakukan sebagaimana yang telah dia lakukan‘.”(al-Hafizh Ibnu Hajar telah menshahihkan sanadnya di dalam Fathul Bari, 9/18. Menurut saya (Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami), orang yang disebut sebagai “orang yang tak dikenal” dalam riwayat Abu Dawud adalah al-Aizar bin Nuraits)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia mencela ketika mushaf yang di tangannya diambil dan dibakar, dan mengatakan bahwa ia lebih dahulu masuk Islam dari pada Zaid bin Tsabit penulis mushaf tersebut dan menyuruh murid-muridnya untuk menyembunyikan mushaf-mushaf mereka dengan membacakan Firman Allah,
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, makapada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.”(Al. Imran: 161).
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengirimkan sepucuk surat kepada beliau yangisinya mengajak Ibnu Mas’ud untuk mengikuti para sahabat yang telah sepakat atas suatu kemaslahatan serta mengajaknya agar bersatu dan jangan berselisih. Maka Ibnu Mas’ud rujuk dan menyambut ajakan tersebut serta meninggalkan perselisihan (Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9/19 berkata, “Udzur bagi Utsman rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia melakukannya (penulisan mushaf) di ‘madinah sementara Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah. Utsman rodhiyallohu ‘anhu tidak menunda tekad tersebut hingga ia mengirim surat kepada Ibnu Mas’ud dan menyuruhnya untuk hadir. Dan Utsman rodhiyallohu ‘anhu menginginkan agar mushaf yang dikumpulkan pada zaman pemerintahan Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu menjadi satu mushaf saja. Dan yang menulis mushaf pada masa Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ialah Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu)
Abu Ishaq meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Yazid, ia berkata, bahwasanya Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu masuk ke masjid Mina seraya berkata, “Berapa raka’at amirul mukminin mengerjakan shalat Zhuhur?” Mereka menjawab, Empat rakaat.” Kemudian ia mengerjakan shalat empat rakaat. Mereka berkata, “Bukankah engkau telah menyampaikan kepada kami bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar dan Umar mengerjakannya dua rakaat ?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Benar dan sekarang akan aku ceritakan hal itu kepada kalian, tetapi aku benci dengan perselisihan.” Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Perselisihan itu jelek.” Dan berkata, “Bagianku dari yang empat rakaat ini adalah dua rakaat yang maqbul.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitab Mengqashar shalat pada Bab Shalat di Mina dengan jaian yang sama, 2/563-Fathul Bari. Demikian juga Abu Dawud dalam Sunannya dalam Kitab Manasik Haji pada Bab Shalat : 2/491.)
Jika Ibnu Mas’ud mengikuti Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang permasalahan furu’ (cabang) tentunya ia juga akan mengikuti Utsman rodhiyallohu ‘anhu pada asal al-Quran dan mencontohnya pada bacaan yang manusia diperintahkan untuk membacanya dengan bacaan tersebut.
Agar lebih jelas dalam menjawab kedua pertanyaan tersebut maka perlu diulas juga tentang:
Perbedaan Antara Pengumpulan Al-qur’an Di Zaman Abu Bakar dan ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhumaa (http://www.alsofwa.com/14956/184-quran-perbedaan-antara-pengumpulan-al-quran-di-zaman-abu-bakar-dan-utsman-radhiyallahu-anhumaa.html)
Faktor pendorong pengumpulan di zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah kekhawatiran akan hilangnya al-Qur’an disebabkan banyaknya Qurra’ (penghafal al-Qur’an) yang meninggal dalam peperangan. Sedangkan faktor pendorong di zaman ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu adalah banyak perbedaan cara membaca al-Qur’an, yaitu ketika beliau melihat perbedaan ini di negeri-negeri kaum Muslimin dan mereka saling menyalahkan satu sama lain.
Pengumpulan al-Qur’an pada zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dilakukan dengan mengumpulkan (memindahkan) catatan-catatan al-Qur’an yang terpisah-pisah
yang ada di kulit binatang, tulang belulang, dan pelepah kurma. Lalu
dikumpulkan dalam satu mushaf, yang ayat-ayat dan surat-suratnya
tersusun rapi, mencukupkan diri pada ayat-ayat yang tidak dinaskh
(dihapus) bacaannya, dan mushaf tersebut mencakup“tujuh huruf” yang dengannya al-Qur’an diturunkan.
Pengumpulan al-Qur’an versi ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu dengan menyalin salah satu huruf dari “tujuh huruf” al-Qur’an,
supaya kaum Muslimin bersatu di atas mushaf yang satu, huruf (cara
baca) yang satu yang mereka baca, tanpa huruf enam yang lainnya.
Ibnu at-Tiin dan yang lainnya berkata:“Perbedaan
antara pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar dengan yang
dilakukan ‘Utsman adalah bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan
al-Qur’an karena kekhawatiran dia akan hilangnya sebagian al-Qur’an
bersamaan dengan meninggalnya para penghafalnya (di medan perang),
karena saat itu al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu tempat (mushaf).
Maka dia pun mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran, tersusun rapi
ayat-ayat dan surat-suratnya sesuai dengan ketentuan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
Adapun pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan oleh
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu didorong oleh banyaknya perbedaan dalam wujuh
al-qira’ah (cara bacaan), sehingga masing-masing mereka membaca sesuai
dengan dialek/bahasa mereka (karena luasnya bahasa/dialek arab). Lalu
hal itu menyebabkan fenomena saling menyalahkan di antara mereka, maka
dikhawatirkan hal itu akan meluas. Kemudian ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu menyalin mushaf tersebut ke dalam satu mushaf yang tersusun rapi
ayat-ayat dan surat-suratnya. Dan dia hanya mencukupkan dengan bahasa
kaum Quraisy, bukan dengan bahasa arab yang lainnya, dengan alasan bahwa
al-Qur’an turun dengan bahasa mereka, dan sekalipun diberikan
keleluasaan dalam membacanya dengan bahasa arab selain mereka(Quraisy)
dari “tujuh huruf” itu, untuk memudahkan mereka pada awal mula turunya
al-Qur’an. Kemudian, dia melihat bahwa kebutuhan akan hal itu sudah
berakhir, maka dia hanya mencukupkan dengan satu bacaan (bahasa) saja,
yaitu bahasa kaum Quraisy.”
Al-Harits al-Muhasiby rahimahullah berkata:“Yang
masyhur di kalangan manusia adalah bahwa yang mengumpulkan al-Qur’an
adalah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, padahal tidaklah demikian.
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu hanyalah mengarahkan (menyatukan) manusia di atas satu qira’ah (cara
baca), berdasarkan pemilihan yang dihadiri oleh kaum Muhajirin dan
Anshar, ketika khawatir terjadinya fitnah ketika terjadi perselisihan
penduduk Irak dan Syam (daerah yang meliputi Syria, Palestina, Yordan,
Libanon dll) tentang masalah huruf qira’at (cara-cara membaca). Adapun
sebelum itu maka al-Qur’an dibaca dengan model/cara baca yang tujuh
(“tujuh huruf”) sebagaimana ia diturunkan. Dan adapun yang lebih dahulu
mengumpulkan/membukukan al-Qur’an secara keseluruhan adalah ash-Shiddiq
(Abu Bakar) radhiyallahu ‘anhu.” (al-Itqan: 1/59-60)
Dengan cara seperti ini ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mematikan
fitnah, menghilangkan sumber perpecahan, dan melindungi al-Qur’an dari
hal-hal yang bisa merusak keotentikannya berupa penambahan, dan
pengubahan seiring dengan berjalannya waktu dan bergantinya zaman.
Dengan demikian pertanyaan pertama, kedua, dan ketiga TELAH TERJAWAB. Sekali kami tegaskan bahwa yang dilakukan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu hanyalah
menyatukan bacaan, jadi tidak menghilangkan huruf, lafadz, dan makna.
Ketiganya terjaga dengan jaminan Alloh sendiri, sebagaimana dibahas di
awal. Walhamdulillah. Al-Quran sudah selesai dibukukan pada masa Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu. Bahkan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu memerintahkan Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu
untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Sa’id bin ‘Ash al-Umawy
dengan disaksikan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu pun tidak membakarnya melainkan di hadapan sekumpulan sahabat yang lain.
Tentang pertanyaan keempat, jawaban singkatnya sebagai berikut (http://forum.muslim-menjawab.com/2012/01/27/menjawab-gugatan-tentang-pembukuan-al-quran/):
Pertama. Seluruh qiroah yang dicontohkan adalah qiroah yang tidak muncul dari hasil ijtihad ulama. Melainkan, semua itu diterima kaum muslimin dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama secara mutawaatir. Jadi, walau berbeda-beda, tetapi tetap dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Jibril ‘alaihis salam, dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Qiroah mutawatir itu telah dihimpun oleh ulama pada masatabiut tabi’in. Mereka dikenal dengan imam qiroah yang tujuh. Cara baca Al Qur’an ini mereka terima dariTabi’in, tabi’in menerima dari sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan sahabat menerima dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama.
Kedua, Para ulama menerima Al Qur’an dengan metode yang hati-hati. Mereka menerima bacaan secara talaqi –pembicaraan melalui tatap muka- dari para hufadz yang
memiliki jalur periwayatan yang bersambung. Dengan begitu, teks
bukanlah satu-satunya sandaran dalam membaca. Sandaran utama dalam
membaca Al Qur’an di samping teks adalah hafalan yang diwariskan dari
guru ke murid.
Pada masa awal, umat islam hanya belajar secara talaqqi dengan guru yang menerima Al Qur’an dengan sanad yang kuat dan bersambung kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama (bahkan sampai sekarang masih ada ulama yang memiliki sanad qiroah yang bersambung sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam). Mereka juga hanya belajar pada ulama yang kapabilitasnya diakui dalam qiroah, yang memiliki sanad baik, kewara’an, dan keakuratan tinggi. Pada awalnya mushhaf tidak dijual. Mushhaf hanya bisa didapat oleh seorang murid ketika dia belajar kepada seorang qori’ yang memiliki sanad bersambung sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama dan
dia menyelesaikan hafalannya di depan sang guru. Kemudian setelah
bacaannya mantap, dia akan dinyatakan lulus, kemudian akan beralih untuk
mempelajari tsaqofah islam yang lain, seperti hadits dan fiqh. Tapi,
belajar Al Qur’an bukanlah satu-satunya menu pertama bagi ulama awal.
Menu pertama mereka yang lain adalah bahasa Arab yang mereka pelajari
sejak kecil di suku-suku pedalaman Arab (seperti yang dilakukan oleh
imam kita, Al Imam As-Syafi’iy rahimahullah, dll). Sehingga, mereka tidak menemui banyak kesulitan ketika mempelajari Al Qur’an, dengan mufrodat, I’rab, dan tashrifnya.
Wallohu a’lam
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Robb
pemilik langit dan bumi yang telah menjaga kitab-Nya yang sempurna,
sehingga dapat menerangi umat manusia menuju kerihoannya dan menjadi
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga sholawat dan salam
senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya,
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari
kiamat kelak
Abu Muhammad
Palembang, 1 Robi’uts-Tsani 1434 H / 11 Februari 2013
Langganan:
Postingan (Atom)