Selasa, 29 September 2015
Menjadi Manusia yang Ikhlas
Menjadi manusia yang bertakwa , beribadah penuh rasa syukur agar menjadi manusia yang diridhoi Ar Rohman (karena keridhoanNya jauh lebih besar): apabila manusia maka akan diridhoi di sisi Allah swt, bisa jadi manusia lebih tinggi derajatnya di sisi ALLAH SWT dari malaikat, namun jika kufur maka akan lebih rendah dari binatang... Wallahu'alam...
Salafus Salih dan Ahlul Bait
“Barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat banyak
perselisihan. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk mengikuti
Sunnah/ajaranku dan Sunnah/ajaran Khulafa’ ar-Rasyidin yang berpetunjuk.
Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara
yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih).
“Perumpamaan ahli bait-ku, seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang berada di atasnya ia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan tenggelam.”
(H.R. Thabrani)
“Aku meninggalkan kalian yang apabila kalian pegang teguh tidak akan tersesat. Kitab Allah, dan keturunanku.”
(H.R. Turmudzi)
“Umatku yang pertama kali aku beri pertolongan (Syafa’at) kelak di hari Kiamat, adalah yang mencintai Ahli bait-ku.”
(H.R. al-Dailami)
“Didiklah anak-anak kalian atas tiga hal. Mencintai Nabi kalian. Mencintai Ahli bait-ku. Membaca al-Qur’an.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardaweih, dan at-Thabrani dalam kitab tafsir-nya)
Ketika turun ayat:
“Katakanlah wahai Muhammad, Aku tidak meminta balasan apapun dari kalian kecuali mencintai kerabat.”
Kemudian Ibnu Abbas ra bertanya pada Rasulullah:
Wahai Rasulullah, siapakah yang dimaksud dengan kerabat yang wajib kami cintai? Rasulullah SAW menjawab: Ali, Fatimah, dan anak keturunannya.
Demikian sebagian dalil-dalil dari Hadits Rasulullah SAW yang secara jelas menyatakan keutamaan Ahlu Bait. Bagaimana tidak, di dalam jasad mereka mengalir darah yang bersambung kepada makhluk yang paling utama, kekasih Allah, Rasulullah SAW.
“Perumpamaan ahli bait-ku, seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang berada di atasnya ia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan tenggelam.”
(H.R. Thabrani)
“Aku meninggalkan kalian yang apabila kalian pegang teguh tidak akan tersesat. Kitab Allah, dan keturunanku.”
(H.R. Turmudzi)
“Umatku yang pertama kali aku beri pertolongan (Syafa’at) kelak di hari Kiamat, adalah yang mencintai Ahli bait-ku.”
(H.R. al-Dailami)
“Didiklah anak-anak kalian atas tiga hal. Mencintai Nabi kalian. Mencintai Ahli bait-ku. Membaca al-Qur’an.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardaweih, dan at-Thabrani dalam kitab tafsir-nya)
Ketika turun ayat:
“Katakanlah wahai Muhammad, Aku tidak meminta balasan apapun dari kalian kecuali mencintai kerabat.”
Kemudian Ibnu Abbas ra bertanya pada Rasulullah:
Wahai Rasulullah, siapakah yang dimaksud dengan kerabat yang wajib kami cintai? Rasulullah SAW menjawab: Ali, Fatimah, dan anak keturunannya.
Demikian sebagian dalil-dalil dari Hadits Rasulullah SAW yang secara jelas menyatakan keutamaan Ahlu Bait. Bagaimana tidak, di dalam jasad mereka mengalir darah yang bersambung kepada makhluk yang paling utama, kekasih Allah, Rasulullah SAW.
Keadaan Ruh dan Jasad Ketika di Alam Kubur
Assalamu’alaikum Ust,
Pertanyaan saya: ketika seseorang meninggal dunia berarti rohnya sudah dicabut oleh Allah sedangkan alam kubur atau alam barzah adalam alam ke empat di mana seseorang akan berada di sana untuk menunggu alam akhirat tiba. Bagaimana keadaan seseorang yang dalam kuburan itu? apakah rohnya yang sudah dicabut akan dikembalikan ke jasad yang sudah di dalam kuburan itu sehingga ia kembali utuh seperti waktu ia hidup dan menunggu hari kiamat? Bagaimana juga keadaan seseorang yang sudah dalam kuburan itu ketika menjawab pertanyaan dari malaikat? apakah malaikat bertanya kepada jasad yg sudah dikubur itu saja atau rohnya sudah dipasang lagi ketika malaikat mau bertanya padahal saat kita meninggal kan roh kita sudah dicabut. minta penjelasannya.Trimakasih sebelumnya.
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Marhamah yang dirahmati Allah swt
Didalam hadits yang diriwayatkan dari al Barro bin ‘Azib bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab kubur—beliau menyebutkan 2 atau 3 kali—kemudian berkata,’Sesungguhnya seorang hamba yang beriman apabila akan berakhir (hidupnya) di dunia dan akan mengawali akheratnya maka turunlah para malaikat dari langit dengan berwajah putih seperti matahari dengan membawa kain kafan dan wewangian dari surga dan mereka duduk disisinya sejauh mata memandang.
Kemudian datanglah malaikat maut dan duduk disebelah kepalanya dengan mengatakan,”Wahai jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan dari Allah dan keredhoan-Nya.’ Beliau saw bersabda,’Maka keluarlah ruhnya seperti tetesan air dari bibir orang yang sedang minum maka dia (malaikat maut) pun mengambilnya. Dan tatkala dia mengambilnya maka para malaikat (yang lain) tidaklah membiarkannya berada ditangannya walau hanya sesaat sehingga mereka mengambilnya dan menaruhnya diatas kafan yang terdapat wewangian hingga keluar darinya bau semerbak kesturi yang membuat wangi permukaan bumi.’
Beliau saw bersabda,’Mereka kemudian naik (ke langit) dengan membawa (ruh) orang itu dan tidaklah mereka melewati para malaikat kecuali mereka bertanya,’Ruh yang baik siapa ini?’ Mereka menjawab,’Fulan bin Fulan, dengan menyebutkan nama terbaik yang dimilikinya di dunia’ sehingga mereka berhenti di langit dunia. Mereka pun meminta agar dibukakan (pintu) baginya maka dibukalah (pintu itu) bagi mereka dan mereka berpindahlah ke langit berikutnya sehingga sampai ke langit ketujuh dan Allah mengatakan,’Tulislah kitab hamba-Ku ini di ‘illiyyin dan kembalikanlah ke bumi, sesungguhnya darinyalah Aku ciptakan mereka dan kepadanyalah Aku mengembalikan mereka dan darinya pula Aku mengeluarkan mereka sekali lagi.’
Beliau saw bersabda,’Dan ruh itu pun dikembalikan ke jasadnya. Kemudian datanglah dua malaikat yang mendudukannya dan bertanya kepadanya,’Siapa Tuhanmu?’ dia pun menjawab,’Tuhanku Allah.’ Keduanya bertanya lagi,’Apa agamamu?’ dia menjawab,’Agamaku Islam.’ Keduanya bertanya,’Siapa lelaki yang diutus kepada kalian ini?’ dia menjawab,’Dia adalah Rasulullah saw.’ Keduanya bertanya lagi,’Apa ilmumu?’ dia menjawab,’Aku membaca Al Qur’an, Kitab Allah, aku mengimaninya dan membenarkannya.’
Terdengarlah suara yang memanggil dari langit,’Karena kebenaran hamba-Ku maka hamparkanlah (suatu hamparan) dari surga, pakaikanlah dengan pakaian dari surga, bukakanlah baginya sebuah pintu menuju surga.’ Beliau saw bersabda,’maka terciumlah wanginya serta dilapangkan kuburnya sejauh mata memandang.’
Beliau bersabda,’Datanglah seorang laki-laki berwajah tampan, berbaju indah dengan baunya yang wangi mengatakan,’Bahagialah engkau di hari yang engkau telah dijanjikan.’ Orang (yang beriman) itu mengatakan,’Siapa angkau? Wajahmu penuh dengan kebaikan’ dia menjawab,’Aku adalah amal shalehmu.’ Orang itu mengatakan,’Wahai Allah, segerakanlah kiamat sehingga aku kembali kepada keluarga dan hartaku.’
Beliau saw bersabda,’Sesungguhnya seorang hamba yang kafir apabila akan berakhir (hidupnya) di dunia akan akan mengawali akheratnya maka turunlah para malaikat dari langit yang berwajah hitam dengan membawa kain dan merekapun duduk disisinya sejauh mata memandang kemudian datang malaikat maut dan duduk disebelah kepalanya dengan mengatakan,’Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju amarah dan murka Allah.’
Beliau saw bersabda,’maka dipisahkanlah ruh dari jasadnya seperti duri yang dicabut dari kain yang basah kemudian malaikat (maut) pun mengambilnya dan tatkala malaikat maut mengambilnya maka mereka (malaikat lain) tidaklah membiarkannya berada di tangannya walau sesaat sehingga meletakkannya dikain itu dan dibawanya dengan bau bangkai busuk yang meyebar di permukaan bumi. Mereka pun membawanya dan tidaklah mereka melintasi malaikat kecuali mereka bertanya,’Ruh buruk milik siapa ini?’ mereka menjawa,’Fulan bin Fulan dengan menyebutkan nama yang paling buruknya di dunia.’
Kemudian mereka sampai di langit dunia dan meminta untuk dibukakan (pintu) baginya maka tidaklah dibukakan baginya kemudian Rasulullah saw membaca firman-Nya,”Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga hingga unta masuk ke lobang jarum.” Kemudian Allah berkata,’Tulislah kitabnya di sijjin di bumi yang paling rendah maka ruhnya dilemparkan dengan satu lemparan. Kemudian beliau saw membaca,”Dan barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan ke tempat yang jauh.’
Ruhnya pun dikembalikan ke jasadnya dan datanglah dua malaikat mendudukannya seraya bertanya,”Siapa Tuhanmu?’ maka dia menjawab,’a..a… aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya.’Apa agamamu?’ dia menjawab,’a…a…aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya,’Siapa laki-laki yang diutus kepadamu ini?’ dia menjawab,’a…a…aku tidak tahu.’ Maka terdengar seruan dari langit.’ Karena pendustaan (nya) maka hamparkanlah (suatu hamparan) dari neraka dan bukakan baginya suatu pintu munuju neraka dan terasalah panas serta angin panasnya bagi orang itu dan dia pun dihimpit oleh kuburnya sehingga hancur tulang-tulangnya.
Datanglah seorang laki-laki yang berwajah buruk dengan pakaian yang bau busuk dan mengatakan,”Bergembiralah kamu dihari yang buruk bagimu yang telah dijanjikan ini.’ Orang itu berkata,’Siapa kamu dengan wajahmu yang penuh dengan kajahatan.’ Dia menjawab,’Aku adalah amal burukmu.’ Orang itu pun berkata,’Wahai Allah janganlah engkau adakan kiamat.” (HR. Ahmad)
Hadits diatas menjelaskan tentang keadaan ruh seseorang saat berpisah dari jasadnya pada saat sakaratul maut. Kemudahan saat itu dialami oleh seorang yang beriman sementara kesulitan yang luar biasa dialami oleh seorang yang kafir.
Hadits itu pun menjelaskan bahwa ruh yang dibawa menuju langit setelah terlepas dari jasadnya kemudian dikembalikan lagi ke jasadnya di bumi untuk merasakan fitnah kubur, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dua malaikat tentang siapa tuhannya, nabi-Nya dan agamanya.
Seorang yang beriman diberikan kemudahan didalam menjawab pertanyaan itu, sebagaimana janji Allah swt kepadanya, firman-Nya :
Sebaliknya dengan keadaan seorang yang kafir, ia tidak sanggup menjawab semua pertanyaan tersebut dikarenakan kekufurannya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits itu memberikan pengetahuan bahwa ruh tetap ada setelah berpisah dari badannya berbeda dengan orang-orang sesat dari kalangan ahli kalam. Ruh itu juga naik (ke langit) dan turun (darinya) berbeda dengan orang-orang sesat dari kalangan ahli ilsafat. Serta ruh dikembalikan ke badan lalu orang yang meninggal itu akan ditanya maka ia akan mendapatkan nikmat atau adzab sebagaimana pertanyaan yang diajukan oleh malaikat penanya. Didalam kubur itu amal shaleh atau buruknya akan mendatanginya dengan suatu bentuk yang baik atau buruk.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc
Pertanyaan saya: ketika seseorang meninggal dunia berarti rohnya sudah dicabut oleh Allah sedangkan alam kubur atau alam barzah adalam alam ke empat di mana seseorang akan berada di sana untuk menunggu alam akhirat tiba. Bagaimana keadaan seseorang yang dalam kuburan itu? apakah rohnya yang sudah dicabut akan dikembalikan ke jasad yang sudah di dalam kuburan itu sehingga ia kembali utuh seperti waktu ia hidup dan menunggu hari kiamat? Bagaimana juga keadaan seseorang yang sudah dalam kuburan itu ketika menjawab pertanyaan dari malaikat? apakah malaikat bertanya kepada jasad yg sudah dikubur itu saja atau rohnya sudah dipasang lagi ketika malaikat mau bertanya padahal saat kita meninggal kan roh kita sudah dicabut. minta penjelasannya.Trimakasih sebelumnya.
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Marhamah yang dirahmati Allah swt
Didalam hadits yang diriwayatkan dari al Barro bin ‘Azib bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab kubur—beliau menyebutkan 2 atau 3 kali—kemudian berkata,’Sesungguhnya seorang hamba yang beriman apabila akan berakhir (hidupnya) di dunia dan akan mengawali akheratnya maka turunlah para malaikat dari langit dengan berwajah putih seperti matahari dengan membawa kain kafan dan wewangian dari surga dan mereka duduk disisinya sejauh mata memandang.
Kemudian datanglah malaikat maut dan duduk disebelah kepalanya dengan mengatakan,”Wahai jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan dari Allah dan keredhoan-Nya.’ Beliau saw bersabda,’Maka keluarlah ruhnya seperti tetesan air dari bibir orang yang sedang minum maka dia (malaikat maut) pun mengambilnya. Dan tatkala dia mengambilnya maka para malaikat (yang lain) tidaklah membiarkannya berada ditangannya walau hanya sesaat sehingga mereka mengambilnya dan menaruhnya diatas kafan yang terdapat wewangian hingga keluar darinya bau semerbak kesturi yang membuat wangi permukaan bumi.’
Beliau saw bersabda,’Mereka kemudian naik (ke langit) dengan membawa (ruh) orang itu dan tidaklah mereka melewati para malaikat kecuali mereka bertanya,’Ruh yang baik siapa ini?’ Mereka menjawab,’Fulan bin Fulan, dengan menyebutkan nama terbaik yang dimilikinya di dunia’ sehingga mereka berhenti di langit dunia. Mereka pun meminta agar dibukakan (pintu) baginya maka dibukalah (pintu itu) bagi mereka dan mereka berpindahlah ke langit berikutnya sehingga sampai ke langit ketujuh dan Allah mengatakan,’Tulislah kitab hamba-Ku ini di ‘illiyyin dan kembalikanlah ke bumi, sesungguhnya darinyalah Aku ciptakan mereka dan kepadanyalah Aku mengembalikan mereka dan darinya pula Aku mengeluarkan mereka sekali lagi.’
Beliau saw bersabda,’Dan ruh itu pun dikembalikan ke jasadnya. Kemudian datanglah dua malaikat yang mendudukannya dan bertanya kepadanya,’Siapa Tuhanmu?’ dia pun menjawab,’Tuhanku Allah.’ Keduanya bertanya lagi,’Apa agamamu?’ dia menjawab,’Agamaku Islam.’ Keduanya bertanya,’Siapa lelaki yang diutus kepada kalian ini?’ dia menjawab,’Dia adalah Rasulullah saw.’ Keduanya bertanya lagi,’Apa ilmumu?’ dia menjawab,’Aku membaca Al Qur’an, Kitab Allah, aku mengimaninya dan membenarkannya.’
Terdengarlah suara yang memanggil dari langit,’Karena kebenaran hamba-Ku maka hamparkanlah (suatu hamparan) dari surga, pakaikanlah dengan pakaian dari surga, bukakanlah baginya sebuah pintu menuju surga.’ Beliau saw bersabda,’maka terciumlah wanginya serta dilapangkan kuburnya sejauh mata memandang.’
Beliau bersabda,’Datanglah seorang laki-laki berwajah tampan, berbaju indah dengan baunya yang wangi mengatakan,’Bahagialah engkau di hari yang engkau telah dijanjikan.’ Orang (yang beriman) itu mengatakan,’Siapa angkau? Wajahmu penuh dengan kebaikan’ dia menjawab,’Aku adalah amal shalehmu.’ Orang itu mengatakan,’Wahai Allah, segerakanlah kiamat sehingga aku kembali kepada keluarga dan hartaku.’
Beliau saw bersabda,’Sesungguhnya seorang hamba yang kafir apabila akan berakhir (hidupnya) di dunia akan akan mengawali akheratnya maka turunlah para malaikat dari langit yang berwajah hitam dengan membawa kain dan merekapun duduk disisinya sejauh mata memandang kemudian datang malaikat maut dan duduk disebelah kepalanya dengan mengatakan,’Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju amarah dan murka Allah.’
Beliau saw bersabda,’maka dipisahkanlah ruh dari jasadnya seperti duri yang dicabut dari kain yang basah kemudian malaikat (maut) pun mengambilnya dan tatkala malaikat maut mengambilnya maka mereka (malaikat lain) tidaklah membiarkannya berada di tangannya walau sesaat sehingga meletakkannya dikain itu dan dibawanya dengan bau bangkai busuk yang meyebar di permukaan bumi. Mereka pun membawanya dan tidaklah mereka melintasi malaikat kecuali mereka bertanya,’Ruh buruk milik siapa ini?’ mereka menjawa,’Fulan bin Fulan dengan menyebutkan nama yang paling buruknya di dunia.’
Kemudian mereka sampai di langit dunia dan meminta untuk dibukakan (pintu) baginya maka tidaklah dibukakan baginya kemudian Rasulullah saw membaca firman-Nya,”Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga hingga unta masuk ke lobang jarum.” Kemudian Allah berkata,’Tulislah kitabnya di sijjin di bumi yang paling rendah maka ruhnya dilemparkan dengan satu lemparan. Kemudian beliau saw membaca,”Dan barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan ke tempat yang jauh.’
Ruhnya pun dikembalikan ke jasadnya dan datanglah dua malaikat mendudukannya seraya bertanya,”Siapa Tuhanmu?’ maka dia menjawab,’a..a… aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya.’Apa agamamu?’ dia menjawab,’a…a…aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya,’Siapa laki-laki yang diutus kepadamu ini?’ dia menjawab,’a…a…aku tidak tahu.’ Maka terdengar seruan dari langit.’ Karena pendustaan (nya) maka hamparkanlah (suatu hamparan) dari neraka dan bukakan baginya suatu pintu munuju neraka dan terasalah panas serta angin panasnya bagi orang itu dan dia pun dihimpit oleh kuburnya sehingga hancur tulang-tulangnya.
Datanglah seorang laki-laki yang berwajah buruk dengan pakaian yang bau busuk dan mengatakan,”Bergembiralah kamu dihari yang buruk bagimu yang telah dijanjikan ini.’ Orang itu berkata,’Siapa kamu dengan wajahmu yang penuh dengan kajahatan.’ Dia menjawab,’Aku adalah amal burukmu.’ Orang itu pun berkata,’Wahai Allah janganlah engkau adakan kiamat.” (HR. Ahmad)
Hadits diatas menjelaskan tentang keadaan ruh seseorang saat berpisah dari jasadnya pada saat sakaratul maut. Kemudahan saat itu dialami oleh seorang yang beriman sementara kesulitan yang luar biasa dialami oleh seorang yang kafir.
Hadits itu pun menjelaskan bahwa ruh yang dibawa menuju langit setelah terlepas dari jasadnya kemudian dikembalikan lagi ke jasadnya di bumi untuk merasakan fitnah kubur, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dua malaikat tentang siapa tuhannya, nabi-Nya dan agamanya.
Seorang yang beriman diberikan kemudahan didalam menjawab pertanyaan itu, sebagaimana janji Allah swt kepadanya, firman-Nya :
يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ
الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللّهُ
الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللّهُ مَا يَشَاء
Artinya : “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang dia
kehendaki.” (QS. Ibrahim : 27)Sebaliknya dengan keadaan seorang yang kafir, ia tidak sanggup menjawab semua pertanyaan tersebut dikarenakan kekufurannya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits itu memberikan pengetahuan bahwa ruh tetap ada setelah berpisah dari badannya berbeda dengan orang-orang sesat dari kalangan ahli kalam. Ruh itu juga naik (ke langit) dan turun (darinya) berbeda dengan orang-orang sesat dari kalangan ahli ilsafat. Serta ruh dikembalikan ke badan lalu orang yang meninggal itu akan ditanya maka ia akan mendapatkan nikmat atau adzab sebagaimana pertanyaan yang diajukan oleh malaikat penanya. Didalam kubur itu amal shaleh atau buruknya akan mendatanginya dengan suatu bentuk yang baik atau buruk.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc
Ainul Mardhiah
Ainul Mardhiah
adalah seorang bidadari yang paling cantik di surga yang Allah ciptakan untuk
sesiapa yang mati syahid berjuang di jalan Allah. Secara bahasa Ainul Mardhiah
berarti mata yang diridhai. Atau setiap pandangan yang melihatnya pasti akan
menemukan keridhaan di hati. Kisah Ainul Mardhiah diceriterakan dalam Hadits
Nabi riwayat Tirmidzi : Ketika pagi hari di bulan Ramadhan, Nabi sedang memberikan targhib (semangat untuk
berjihad) kepada pasukan Islam. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya orang yang mati syahid karena
berjihad di jalan Alloh, maka Alloh akan
menganugerahkannya Ainul Mardhiah, bidadari
paling cantik di surga”.
Salah satu
sahabat yang masih muda yang mendengar cerita itu menjadi penasaran. Namun, karena malu kepada Nabi dan sahabat-sahabat
lain, sahabat ini tidak jadi mencari
tahu lebih dalam mengenai Ainul Mardhiah. Waktu Zuhur sebentar lagi, sesuai sunah Rasul, para sahabat dipersilakan untuk tidur sejenak
sebelum pergi berperang. Bersama kafilah perangnya pun sahabat yang satu ini
tidur terlelap dan sampai bermimpi. Di dalam mimpinya dia berada di tempat yang
sangat indah yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Dia pun bertemu dengan
seorang wanita yang sangat cantik yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia pun
bertanya kepada wanita tersebut, “Di
manakah ini?”. “Inilah surga.”, jawab
wanita itu. Kemudian sahabat ini bertanya lagi, “Apakah Anda Ainul Mardhiah?”. “Bukan, saya bukan Ainul Mardhiah. Kalau Anda ingin
bertemu dengan Ainul Mardhiah, dia
sedang berada di bawah pohon yang rindang itu.” Didapatinya oleh sahabat itu
seorang wanita yang kecantikannya berkali-kali lipat dari wanita pertama yang
ia lihat. “Apakah Anda Ainul Mardhiah?” “Bukan saya ini penjaganya. Kalau Anda
ingin bertemunya di sanalah singgasananya.” Lalu sahabat ini pun pergi ke
singgasana tersebut dan sampailah ke suatu mahligai. Didapatinya seorang wanita
yang kecantikannya berlipat-lipat dari wanita sebelumnya yang sedang
mengelap-ngelap perhiasan.
Sahabat ini
pun memberanikan diri untuk bertanya. “Apakah Anda Ainul Mardhiah?” “Bukan, saya bukan Ainul Mardhiah. Saya penjaganya di
mahligai ini. Jika Anda ingin menemuinya, temuilah ia di mahligai itu.” Pemuda itu pun
beranjak dan sampailah ke mahligai yang ditunjukkan. Didapatinya seorang wanita
yang kecantikannya berlipat-lipat dari wanita sebelumnya dan sangat pemalu.
Pemuda itu pun bertanya. “Apakah Anda Ainul Mardhiah?” “Ya, benar saya Ainul Mardhiah” Pemuda itu pun
mendekat, tetapi Ainul Mardhiah
menghindar dan berkata, “Anda bukan
seorang yang mati syahid.” Seketika itu juga pemuda itu terbangun dari
mimpinya. Dia pun menceritakan ceritanya ini kepada seorang sahabat
kepercayaannya yang dimohonkan untuk merahasiakannya sampai ia mati syahid.
Komando jihad pun menggelora. Sahabat ini pun dengan semangatnya berjihad untuk
dapat bertemu dengan Ainul Mardhiah. Ia pun akhirnya mati syahid. Di petang
hari ketika buka puasa, sahabat
kepercayaan ini menceritakan mimpi sahabat yang mati syahid ini kepada Nabi.
Nabi pun membenarkan mimpi sahabat muda ini dan Nabi bersabda, “Sekarang ia bahagia bersama Ainul Mardhiah”.
… سُبْحَانَ اللّهُ وَاَلْحَمْدُلِلّهِ وَلاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللّهُ. اَللّهُ
اَكْبَرُ …
Bidadari
merupakan salah satu anugerah Allah kepada seorang lelaki yang memasuki syurga.
Bagi seorang wanita yang solehah maka bidadari bagi suaminya adalah dikalangan
bidadar-bidadari kurniaan Allah dan dia (isteri solehah merupakan ketua kepada
segala bidadari- bidadari).
Berjihad/berdakwah
untuk agama Allah S.W.T merupakan satu amalan yang akan menjadi kesukaan Allah
S.W.T dan ini merupakan sunnah besar nabi S.W.T dan kalangan sahabat-sahabat
r.hum. Setiap manusia yang mati walaupun berapa umurnya maka akan ditanya
dimanakah masa mudanya dihabiskan.
Rasulullah
S.W.T bersabda: “Tidak akan berganjak kaki anak Adam di Hari Kiamat hingga
disoal tentang empat perkara: tentang usianya pada apa dihabiskannya, tentang masa mudanya apa yang telah
diperjuangkannya, tentang hartanya dari
mana datangnya dan ke mana telah dibelanjakannya dan tentang ilmunya apa yang
telah dibuatnya.” (Hadith sahih riwayat Tirmizi)
Ainul Mardhiah (bidadari untuk
orang yang berjihad/berdakwah untuk agama Allah S.W.T.)
"Seakan-akan bidadari itu
permata yakut dan marjan." QS. ar-Rahman (55) : 58
"Di dalam surga-surga itu
ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik." QS. ar-Rahman
(55) : 70
"(Bidadari-bidadari) yang
jelita, putih bersih dipingit dalam
rumah." QS. ar-Rahman (55) : 72
"Mereka tidak pernah
disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi
suami mereka) dan tidak pula oleh jin." QS. ar-Rahman (55) : 74
'Ainul
Mardhiah merupakan seorang bidadari yang paling cantik dalam kalangan bidadari-bidadari
yang lain (bermaksud mata yang di redhai). Suatu pagi (dalam bulan puasa)
ketika nabi memberi targhib (berita-berita semangat di kalangan sahabat untuk
berjihad/berdakwah untuk agama Allah) katanya siapa-siapa yang keluar di jalan
Allah tiba-tiba ia syahid, maka dia akan
dianugerahkan seorang bidadari yang paling cantik dalam kalangan
bidadari-bidadari syurga.
Mendengar
berita itu seorang sahabat yang usianya muda teringin sangat hendak tahu
bagaimana cantiknya bidadari tersebut, tetapi di sebabkan sahabat ini malu hendak
bertanyakan kepada nabi S.W.T, kerana
malu kepada sahabat-sahabat yang lain. Namun dia tetap memberi nama sebagai
salah sorang yang akan keluar di jalan Allah.
MENJAWAB KERANCUAN SEPUTAR PENULISAN MUSHAF AL - QUR’AN DI ZAMAN UTSMAN BIN AFFAN Rodhiyallohu ‘anhu
Musuh-musuh islam senantiasa ingin meruntuhkan islam dengan segenap
cara. Keimanan terhadap Al Qur’an yang memiliki posisi sedemikian
strategis tak luput dari incaran mereka. Salah satu usaha yang mereka
lakukan untuk menebar keraguan terhadap Al Qur’an adalah memberikan
persepsi yang lemah dan kabur mengenai sejarah pembukuan Al Qur’an.
Mereka ingin menunjukkan sebuah fakta palsu bahwa Al Qur’an -dalam
sejarahnya- memiliki banyak versi yang membingungkan, dan tidak ada yang
bisa menjamin bahwa mush-haf yang ada di tangan kita saat ini adalah benar-benar Al Qur’an, kalamullah. Allahummanshurnaa ‘alal qoumil kaafiriin! (http://forum.muslim-menjawab.com/2012/01/27/menjawab-gugatan-tentang-pembukuan-al-quran/)
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar penulisan mushaf (khususnya di zaman Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu), yaitu:
1. Apakah pada zaman Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dilakukan penulisan ulang, menyelisihi penulisan di zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu?
2. Apakah para sahabat sepakat akan penyatuan mushaf dan pembakaran mushaf dengan 6 qiro’ah yang lainnya?
3. Al Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf” tersebut tidak mencakup secara keseluruhan, berarti Mushhaf ini telah menghilangkan banyak bagian dari Al Qur’an!?
4. Dengan tujuh bacaan yang berbeda (yang bisa menyebabkan perbedaan makna) bisa sangat mungkin syariat diselewengkan dari tahun ke tahun!?
Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Asy-Syinqithi rohimahulloh (2/225) berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan.
Al-Qurthubi rohimahulloh (10/5) mengatakan, Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan. Lalu beliau menyebutkan ucapan Qatadah dan Tsabit al-Bunani, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari upaya setan yang ingin menambahkan kebatilan ke dalamnya dan mengurangi kebenarannya, sehingga Al-Qur’an tetap terpelihara.”
Al-Imam Al-Baidhawi rohimahulloh (3/362) mengatakan, “Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap sikap orang-orang kafir yang senantiasa mengingkari dan memperolok-olok Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menguatkannya (Al-Qur’an) dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maksudnya, memeliharanya dari penyimpangan, baik huruf maupun makna, dan penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu keajaiban (mukjizat), guna membedakan apa yang tertera padanya dengan ucapan manusia.”
Kata asy-Syaikh as-Sa’di rohimahulloh, “Al-Qur’an terpelihara saat diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya. Adapun setelah diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala menyimpannya di hati Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian di hati umatnya. Allah subhanahu wa ta’ala menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian. ……”
Ath-Thabari rohimahulloh (14/8) berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan kebatilan yang bukan bagian darinya, atau pengurangan hukum, batasan, dan kewajiban yang seharusnya ada padanya.” (http://asysyariah.com/hadits-terpelihara-sebagaimana-al-quran.html)
Dengan demikian, sebagai seorang muslim, kita harus yakin bahwa Al-Quran yang ada di hadapan kaum muslimin saat ini, itulah yang diwahyukan oleh Alloh kepada Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam, baik huruf, lafadz, maupun maknanya SAMA, tidak ada penambahan maupun pengurangan. Alhamdulillahi bini’matihi tatimmush shoolihaat.
Tahap-Tahap Penulisan dan Pengumpulan Al-Qur’an
Sebelumnya perlu diketahui dulu bahwa penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama. Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya.Para sahabat yang menghafal Al-Qur’an antara lain: Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum. Baca juga: http://www.alsofwa.com/14950/178-quran-pengumpulan-al-quran-dalam-artian-penulisannya-pada-zaman-nabi.html
Tahap Kedua. Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun 12 Hijriyah.
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukhari [Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. (http://almanhaj.or.id/content/2198/slash/0/penulisan-al-quran-dan-pengumpulannya/). Baca juga http://www.alsofwa.com/14952/180-quran-pengumpulan-al-quran-pada-masa-abu-bakar-radhiyallahu-anhu.html
Tahap Ketiga. Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun 20 Hijriyah.
Pembahasan inilah yang akan sedikit dipanjangkan.
Di antara jasa beliau yang besar dan kebaikan beliau yang agung, bahwa beliau telah menyatukan kaum muslimin pada satu qira’ah dan dituliskannya bacaan al-Qur’an terakhir yang diajarkan oleh Jibril kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, yakni ketika Jibril mendiktekan al-Qur’an kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam pada tahun terakhir masa hidup beliau.
Latar belakang penyatuan mushaf ini adalah Hudzaifah bin al-Yaman ikut serta dalam beberapa peperangan. Pada pasukan tersebut berkumpul orang-orang dari Syam yang mengambil bacaan dari Qira’ah al-Miqdad bin al-Aswad dan Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhum dan sekelompok penduduk Iraq yang mengambil bacaan dari Qira’ah Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa rodhiyallohu ‘anhum. Bagi yang tidak mengetahui bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh bacaan, mengutamakan bacaannya dari pada bacaan yang lain bahkan terkadang menyalahkan bacaan yang lain atau sampai pada pengkafiran.
Hal itu membuka jurang perselisihan sehingga tersebarlah ucapan-ucapan jelek di kalangan masyarakat. Maka berangkatlah Hudzaifah bin al-Yaman rodhiyallohu ‘anhu menghadap Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu dan berkata, “Ya Amirul Mukminin! Benahi umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitab mereka sebagaimana perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenai kitab mereka.” Kemudian Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu menceritakan apa yang ia saksikan mengenai perselisihan yang terjadi di tengah kaum muslimin. Pada saat itu Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka untuk memusyawarahkan perkara tersebut. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an harus ditulis dalam satu Qira’ah (bacaan) dan menyatukan seluruh daerah pada satu bacaan saja untuk menghentikan perselisihan dan menghindari perpecahan.
Beliau meminta lembaran-lembaran al-Qur’an yang dulu dipakai Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu dan memerintahkan Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu untuk mengumpulkannya. Lembaran ini dipakai Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ketika masih hidup kemudian dipakai oleh Umar bin Khaththab rodhiyallohu ‘anhu. Setelah Umar rodhiyallohu ‘anhu wafat lembaran-lembaran al-Qur’an tersebut berada di tangan Hafshah Ummul Mukminin rodhiyallohu ‘anha. Lantas Utsman memintanya dan memerintahkan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Sa’id bin ‘Ash al-Umawy dengan disaksikan oleh Abdullah bin Zubair al-Asady, dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam al-Makhzumy rodhiyallohu ‘anhum. Beliau memerintahkan juga jika mereka berselisih pendapat maka tulislah yang sesuai dengan bahasa Arab Quraisy. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Maka ditulislah satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk Syam, satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk mesir, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Bashrah, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Kufah, begitu juga ke Makkah dan Yaman dan satu mushaf al-Qur’an untuk Madinah. Mushaf-mushaf ini disebut dengan Mushaf al-Aimmah atau al-Utsmaniyah. Mushaf tersebut bukan hasil tulisan Utsman rodhiyallohu ‘anhu tetapi tulisan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu. Dikatakan mushaf al-Utsmaniyah karena ditulis berdasarkan perintah beliau, pada zaman pemerintahan beliau, sebagaimana penamaan Dinar Hiraklius, karena dibuat pada masa pemerintahannya.
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan semua mushaf yang beredar di kalangan masyarakat yang berbeda dengan mushaf tersebut lalu membakarnya agar tidak lagi timbul perselisihan. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Abu Bakar bin Dawud berkata tentang penulisan mushaf tersebut, “Muhammad bin Basyar telah mengatakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far dan Abdur Rahman telah mengatakan kepada kami, Syu’bah bin Alqamah bin Martsad telah mengatakan kepada kami dari seseorang dari Suwaid bin Ghaflah ia berkata, ‘Ali bin Abi Thalib rodhiyallohu ‘anhu berkata kepadaku ketika Utsman rodhiyallohu ‘anhu membakar mushaf-mushaf tersebut, ‘Jika Utsman tidak melakukannya niscaya aku yang akan melakukannya (yaitu penulisan mushaf).’ Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thiyalisi dan Amr bin Marzuq dari Syu’bah dengan matan yang sama’.
Al-Baihaqi dan lainnya meriwayatkannya dari hadits Muhammad bin Aban -suami saudara perempuan Husain- dari ‘Alqamah bin martsad berkata, “Aku mendengar al-‘Aizar bin Huraits berkata, ‘Aku mendengar Suwaid bin Ghaflah berkata, ‘Ali rodhiyallohu ‘anhu berkata, ‘Wahai hadirin sekalian! Janganlah kalian berlebihan dalam mensikapi Utsman, kalian katakan ia telah membakar mushaf-mushaf. Demi Allah dia tidak membakarnya melainkan di hadapan sekumpulan sahabat Muhammad. Jikalau aku yang ditugaskan, tentunya akan aku lakukan sebagaimana yang telah dia lakukan‘.”(al-Hafizh Ibnu Hajar telah menshahihkan sanadnya di dalam Fathul Bari, 9/18. Menurut saya (Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami), orang yang disebut sebagai “orang yang tak dikenal” dalam riwayat Abu Dawud adalah al-Aizar bin Nuraits)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia mencela ketika mushaf yang di tangannya diambil dan dibakar, dan mengatakan bahwa ia lebih dahulu masuk Islam dari pada Zaid bin Tsabit penulis mushaf tersebut dan menyuruh murid-muridnya untuk menyembunyikan mushaf-mushaf mereka dengan membacakan Firman Allah,
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, makapada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.”(Al. Imran: 161).
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengirimkan sepucuk surat kepada beliau yangisinya mengajak Ibnu Mas’ud untuk mengikuti para sahabat yang telah sepakat atas suatu kemaslahatan serta mengajaknya agar bersatu dan jangan berselisih. Maka Ibnu Mas’ud rujuk dan menyambut ajakan tersebut serta meninggalkan perselisihan (Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9/19 berkata, “Udzur bagi Utsman rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia melakukannya (penulisan mushaf) di ‘madinah sementara Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah. Utsman rodhiyallohu ‘anhu tidak menunda tekad tersebut hingga ia mengirim surat kepada Ibnu Mas’ud dan menyuruhnya untuk hadir. Dan Utsman rodhiyallohu ‘anhu menginginkan agar mushaf yang dikumpulkan pada zaman pemerintahan Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu menjadi satu mushaf saja. Dan yang menulis mushaf pada masa Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ialah Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu)
Abu Ishaq meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Yazid, ia berkata, bahwasanya Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu masuk ke masjid Mina seraya berkata, “Berapa raka’at amirul mukminin mengerjakan shalat Zhuhur?” Mereka menjawab, Empat rakaat.” Kemudian ia mengerjakan shalat empat rakaat. Mereka berkata, “Bukankah engkau telah menyampaikan kepada kami bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar dan Umar mengerjakannya dua rakaat ?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Benar dan sekarang akan aku ceritakan hal itu kepada kalian, tetapi aku benci dengan perselisihan.” Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Perselisihan itu jelek.” Dan berkata, “Bagianku dari yang empat rakaat ini adalah dua rakaat yang maqbul.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitab Mengqashar shalat pada Bab Shalat di Mina dengan jaian yang sama, 2/563-Fathul Bari. Demikian juga Abu Dawud dalam Sunannya dalam Kitab Manasik Haji pada Bab Shalat : 2/491.)
Jika Ibnu Mas’ud mengikuti Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang permasalahan furu’ (cabang) tentunya ia juga akan mengikuti Utsman rodhiyallohu ‘anhu pada asal al-Quran dan mencontohnya pada bacaan yang manusia diperintahkan untuk membacanya dengan bacaan tersebut.
Agar lebih jelas dalam menjawab kedua pertanyaan tersebut maka perlu diulas juga tentang:
Perbedaan Antara Pengumpulan Al-qur’an Di Zaman Abu Bakar dan ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhumaa (http://www.alsofwa.com/14956/184-quran-perbedaan-antara-pengumpulan-al-quran-di-zaman-abu-bakar-dan-utsman-radhiyallahu-anhumaa.html)
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar penulisan mushaf (khususnya di zaman Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu), yaitu:
1. Apakah pada zaman Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dilakukan penulisan ulang, menyelisihi penulisan di zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu?
2. Apakah para sahabat sepakat akan penyatuan mushaf dan pembakaran mushaf dengan 6 qiro’ah yang lainnya?
3. Al Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf” tersebut tidak mencakup secara keseluruhan, berarti Mushhaf ini telah menghilangkan banyak bagian dari Al Qur’an!?
4. Dengan tujuh bacaan yang berbeda (yang bisa menyebabkan perbedaan makna) bisa sangat mungkin syariat diselewengkan dari tahun ke tahun!?
Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Asy-Syinqithi rohimahulloh (2/225) berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan.
Al-Qurthubi rohimahulloh (10/5) mengatakan, Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan. Lalu beliau menyebutkan ucapan Qatadah dan Tsabit al-Bunani, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari upaya setan yang ingin menambahkan kebatilan ke dalamnya dan mengurangi kebenarannya, sehingga Al-Qur’an tetap terpelihara.”
Al-Imam Al-Baidhawi rohimahulloh (3/362) mengatakan, “Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap sikap orang-orang kafir yang senantiasa mengingkari dan memperolok-olok Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menguatkannya (Al-Qur’an) dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maksudnya, memeliharanya dari penyimpangan, baik huruf maupun makna, dan penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu keajaiban (mukjizat), guna membedakan apa yang tertera padanya dengan ucapan manusia.”
Kata asy-Syaikh as-Sa’di rohimahulloh, “Al-Qur’an terpelihara saat diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya. Adapun setelah diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala menyimpannya di hati Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian di hati umatnya. Allah subhanahu wa ta’ala menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian. ……”
Ath-Thabari rohimahulloh (14/8) berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan kebatilan yang bukan bagian darinya, atau pengurangan hukum, batasan, dan kewajiban yang seharusnya ada padanya.” (http://asysyariah.com/hadits-terpelihara-sebagaimana-al-quran.html)
Dengan demikian, sebagai seorang muslim, kita harus yakin bahwa Al-Quran yang ada di hadapan kaum muslimin saat ini, itulah yang diwahyukan oleh Alloh kepada Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam, baik huruf, lafadz, maupun maknanya SAMA, tidak ada penambahan maupun pengurangan. Alhamdulillahi bini’matihi tatimmush shoolihaat.
Tahap-Tahap Penulisan dan Pengumpulan Al-Qur’an
Sebelumnya perlu diketahui dulu bahwa penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama. Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya.Para sahabat yang menghafal Al-Qur’an antara lain: Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum. Baca juga: http://www.alsofwa.com/14950/178-quran-pengumpulan-al-quran-dalam-artian-penulisannya-pada-zaman-nabi.html
Tahap Kedua. Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun 12 Hijriyah.
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukhari [Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. (http://almanhaj.or.id/content/2198/slash/0/penulisan-al-quran-dan-pengumpulannya/). Baca juga http://www.alsofwa.com/14952/180-quran-pengumpulan-al-quran-pada-masa-abu-bakar-radhiyallahu-anhu.html
Tahap Ketiga. Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun 20 Hijriyah.
Pembahasan inilah yang akan sedikit dipanjangkan.
Di antara jasa beliau yang besar dan kebaikan beliau yang agung, bahwa beliau telah menyatukan kaum muslimin pada satu qira’ah dan dituliskannya bacaan al-Qur’an terakhir yang diajarkan oleh Jibril kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, yakni ketika Jibril mendiktekan al-Qur’an kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam pada tahun terakhir masa hidup beliau.
Latar belakang penyatuan mushaf ini adalah Hudzaifah bin al-Yaman ikut serta dalam beberapa peperangan. Pada pasukan tersebut berkumpul orang-orang dari Syam yang mengambil bacaan dari Qira’ah al-Miqdad bin al-Aswad dan Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhum dan sekelompok penduduk Iraq yang mengambil bacaan dari Qira’ah Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa rodhiyallohu ‘anhum. Bagi yang tidak mengetahui bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh bacaan, mengutamakan bacaannya dari pada bacaan yang lain bahkan terkadang menyalahkan bacaan yang lain atau sampai pada pengkafiran.
Hal itu membuka jurang perselisihan sehingga tersebarlah ucapan-ucapan jelek di kalangan masyarakat. Maka berangkatlah Hudzaifah bin al-Yaman rodhiyallohu ‘anhu menghadap Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu dan berkata, “Ya Amirul Mukminin! Benahi umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitab mereka sebagaimana perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenai kitab mereka.” Kemudian Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu menceritakan apa yang ia saksikan mengenai perselisihan yang terjadi di tengah kaum muslimin. Pada saat itu Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka untuk memusyawarahkan perkara tersebut. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an harus ditulis dalam satu Qira’ah (bacaan) dan menyatukan seluruh daerah pada satu bacaan saja untuk menghentikan perselisihan dan menghindari perpecahan.
Beliau meminta lembaran-lembaran al-Qur’an yang dulu dipakai Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu dan memerintahkan Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu untuk mengumpulkannya. Lembaran ini dipakai Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ketika masih hidup kemudian dipakai oleh Umar bin Khaththab rodhiyallohu ‘anhu. Setelah Umar rodhiyallohu ‘anhu wafat lembaran-lembaran al-Qur’an tersebut berada di tangan Hafshah Ummul Mukminin rodhiyallohu ‘anha. Lantas Utsman memintanya dan memerintahkan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Sa’id bin ‘Ash al-Umawy dengan disaksikan oleh Abdullah bin Zubair al-Asady, dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam al-Makhzumy rodhiyallohu ‘anhum. Beliau memerintahkan juga jika mereka berselisih pendapat maka tulislah yang sesuai dengan bahasa Arab Quraisy. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Maka ditulislah satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk Syam, satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk mesir, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Bashrah, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Kufah, begitu juga ke Makkah dan Yaman dan satu mushaf al-Qur’an untuk Madinah. Mushaf-mushaf ini disebut dengan Mushaf al-Aimmah atau al-Utsmaniyah. Mushaf tersebut bukan hasil tulisan Utsman rodhiyallohu ‘anhu tetapi tulisan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu. Dikatakan mushaf al-Utsmaniyah karena ditulis berdasarkan perintah beliau, pada zaman pemerintahan beliau, sebagaimana penamaan Dinar Hiraklius, karena dibuat pada masa pemerintahannya.
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan semua mushaf yang beredar di kalangan masyarakat yang berbeda dengan mushaf tersebut lalu membakarnya agar tidak lagi timbul perselisihan. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)
Abu Bakar bin Dawud berkata tentang penulisan mushaf tersebut, “Muhammad bin Basyar telah mengatakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far dan Abdur Rahman telah mengatakan kepada kami, Syu’bah bin Alqamah bin Martsad telah mengatakan kepada kami dari seseorang dari Suwaid bin Ghaflah ia berkata, ‘Ali bin Abi Thalib rodhiyallohu ‘anhu berkata kepadaku ketika Utsman rodhiyallohu ‘anhu membakar mushaf-mushaf tersebut, ‘Jika Utsman tidak melakukannya niscaya aku yang akan melakukannya (yaitu penulisan mushaf).’ Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thiyalisi dan Amr bin Marzuq dari Syu’bah dengan matan yang sama’.
Al-Baihaqi dan lainnya meriwayatkannya dari hadits Muhammad bin Aban -suami saudara perempuan Husain- dari ‘Alqamah bin martsad berkata, “Aku mendengar al-‘Aizar bin Huraits berkata, ‘Aku mendengar Suwaid bin Ghaflah berkata, ‘Ali rodhiyallohu ‘anhu berkata, ‘Wahai hadirin sekalian! Janganlah kalian berlebihan dalam mensikapi Utsman, kalian katakan ia telah membakar mushaf-mushaf. Demi Allah dia tidak membakarnya melainkan di hadapan sekumpulan sahabat Muhammad. Jikalau aku yang ditugaskan, tentunya akan aku lakukan sebagaimana yang telah dia lakukan‘.”(al-Hafizh Ibnu Hajar telah menshahihkan sanadnya di dalam Fathul Bari, 9/18. Menurut saya (Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami), orang yang disebut sebagai “orang yang tak dikenal” dalam riwayat Abu Dawud adalah al-Aizar bin Nuraits)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia mencela ketika mushaf yang di tangannya diambil dan dibakar, dan mengatakan bahwa ia lebih dahulu masuk Islam dari pada Zaid bin Tsabit penulis mushaf tersebut dan menyuruh murid-muridnya untuk menyembunyikan mushaf-mushaf mereka dengan membacakan Firman Allah,
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, makapada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.”(Al. Imran: 161).
Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengirimkan sepucuk surat kepada beliau yangisinya mengajak Ibnu Mas’ud untuk mengikuti para sahabat yang telah sepakat atas suatu kemaslahatan serta mengajaknya agar bersatu dan jangan berselisih. Maka Ibnu Mas’ud rujuk dan menyambut ajakan tersebut serta meninggalkan perselisihan (Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9/19 berkata, “Udzur bagi Utsman rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia melakukannya (penulisan mushaf) di ‘madinah sementara Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah. Utsman rodhiyallohu ‘anhu tidak menunda tekad tersebut hingga ia mengirim surat kepada Ibnu Mas’ud dan menyuruhnya untuk hadir. Dan Utsman rodhiyallohu ‘anhu menginginkan agar mushaf yang dikumpulkan pada zaman pemerintahan Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu menjadi satu mushaf saja. Dan yang menulis mushaf pada masa Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ialah Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu)
Abu Ishaq meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Yazid, ia berkata, bahwasanya Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu masuk ke masjid Mina seraya berkata, “Berapa raka’at amirul mukminin mengerjakan shalat Zhuhur?” Mereka menjawab, Empat rakaat.” Kemudian ia mengerjakan shalat empat rakaat. Mereka berkata, “Bukankah engkau telah menyampaikan kepada kami bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar dan Umar mengerjakannya dua rakaat ?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Benar dan sekarang akan aku ceritakan hal itu kepada kalian, tetapi aku benci dengan perselisihan.” Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Perselisihan itu jelek.” Dan berkata, “Bagianku dari yang empat rakaat ini adalah dua rakaat yang maqbul.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitab Mengqashar shalat pada Bab Shalat di Mina dengan jaian yang sama, 2/563-Fathul Bari. Demikian juga Abu Dawud dalam Sunannya dalam Kitab Manasik Haji pada Bab Shalat : 2/491.)
Jika Ibnu Mas’ud mengikuti Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang permasalahan furu’ (cabang) tentunya ia juga akan mengikuti Utsman rodhiyallohu ‘anhu pada asal al-Quran dan mencontohnya pada bacaan yang manusia diperintahkan untuk membacanya dengan bacaan tersebut.
Agar lebih jelas dalam menjawab kedua pertanyaan tersebut maka perlu diulas juga tentang:
Perbedaan Antara Pengumpulan Al-qur’an Di Zaman Abu Bakar dan ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhumaa (http://www.alsofwa.com/14956/184-quran-perbedaan-antara-pengumpulan-al-quran-di-zaman-abu-bakar-dan-utsman-radhiyallahu-anhumaa.html)
Faktor pendorong pengumpulan di zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah kekhawatiran akan hilangnya al-Qur’an disebabkan banyaknya Qurra’ (penghafal al-Qur’an) yang meninggal dalam peperangan. Sedangkan faktor pendorong di zaman ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu adalah banyak perbedaan cara membaca al-Qur’an, yaitu ketika beliau melihat perbedaan ini di negeri-negeri kaum Muslimin dan mereka saling menyalahkan satu sama lain.
Pengumpulan al-Qur’an pada zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dilakukan dengan mengumpulkan (memindahkan) catatan-catatan al-Qur’an yang terpisah-pisah
yang ada di kulit binatang, tulang belulang, dan pelepah kurma. Lalu
dikumpulkan dalam satu mushaf, yang ayat-ayat dan surat-suratnya
tersusun rapi, mencukupkan diri pada ayat-ayat yang tidak dinaskh
(dihapus) bacaannya, dan mushaf tersebut mencakup“tujuh huruf” yang dengannya al-Qur’an diturunkan.
Pengumpulan al-Qur’an versi ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu dengan menyalin salah satu huruf dari “tujuh huruf” al-Qur’an,
supaya kaum Muslimin bersatu di atas mushaf yang satu, huruf (cara
baca) yang satu yang mereka baca, tanpa huruf enam yang lainnya.
Ibnu at-Tiin dan yang lainnya berkata:“Perbedaan
antara pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar dengan yang
dilakukan ‘Utsman adalah bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan
al-Qur’an karena kekhawatiran dia akan hilangnya sebagian al-Qur’an
bersamaan dengan meninggalnya para penghafalnya (di medan perang),
karena saat itu al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu tempat (mushaf).
Maka dia pun mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran, tersusun rapi
ayat-ayat dan surat-suratnya sesuai dengan ketentuan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
Adapun pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan oleh
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu didorong oleh banyaknya perbedaan dalam wujuh
al-qira’ah (cara bacaan), sehingga masing-masing mereka membaca sesuai
dengan dialek/bahasa mereka (karena luasnya bahasa/dialek arab). Lalu
hal itu menyebabkan fenomena saling menyalahkan di antara mereka, maka
dikhawatirkan hal itu akan meluas. Kemudian ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu menyalin mushaf tersebut ke dalam satu mushaf yang tersusun rapi
ayat-ayat dan surat-suratnya. Dan dia hanya mencukupkan dengan bahasa
kaum Quraisy, bukan dengan bahasa arab yang lainnya, dengan alasan bahwa
al-Qur’an turun dengan bahasa mereka, dan sekalipun diberikan
keleluasaan dalam membacanya dengan bahasa arab selain mereka(Quraisy)
dari “tujuh huruf” itu, untuk memudahkan mereka pada awal mula turunya
al-Qur’an. Kemudian, dia melihat bahwa kebutuhan akan hal itu sudah
berakhir, maka dia hanya mencukupkan dengan satu bacaan (bahasa) saja,
yaitu bahasa kaum Quraisy.”
Al-Harits al-Muhasiby rahimahullah berkata:“Yang
masyhur di kalangan manusia adalah bahwa yang mengumpulkan al-Qur’an
adalah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, padahal tidaklah demikian.
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu hanyalah mengarahkan (menyatukan) manusia di atas satu qira’ah (cara
baca), berdasarkan pemilihan yang dihadiri oleh kaum Muhajirin dan
Anshar, ketika khawatir terjadinya fitnah ketika terjadi perselisihan
penduduk Irak dan Syam (daerah yang meliputi Syria, Palestina, Yordan,
Libanon dll) tentang masalah huruf qira’at (cara-cara membaca). Adapun
sebelum itu maka al-Qur’an dibaca dengan model/cara baca yang tujuh
(“tujuh huruf”) sebagaimana ia diturunkan. Dan adapun yang lebih dahulu
mengumpulkan/membukukan al-Qur’an secara keseluruhan adalah ash-Shiddiq
(Abu Bakar) radhiyallahu ‘anhu.” (al-Itqan: 1/59-60)
Dengan cara seperti ini ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mematikan
fitnah, menghilangkan sumber perpecahan, dan melindungi al-Qur’an dari
hal-hal yang bisa merusak keotentikannya berupa penambahan, dan
pengubahan seiring dengan berjalannya waktu dan bergantinya zaman.
Dengan demikian pertanyaan pertama, kedua, dan ketiga TELAH TERJAWAB. Sekali kami tegaskan bahwa yang dilakukan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu hanyalah
menyatukan bacaan, jadi tidak menghilangkan huruf, lafadz, dan makna.
Ketiganya terjaga dengan jaminan Alloh sendiri, sebagaimana dibahas di
awal. Walhamdulillah. Al-Quran sudah selesai dibukukan pada masa Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu. Bahkan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu memerintahkan Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu
untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Sa’id bin ‘Ash al-Umawy
dengan disaksikan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu pun tidak membakarnya melainkan di hadapan sekumpulan sahabat yang lain.
Tentang pertanyaan keempat, jawaban singkatnya sebagai berikut (http://forum.muslim-menjawab.com/2012/01/27/menjawab-gugatan-tentang-pembukuan-al-quran/):
Pertama. Seluruh qiroah yang dicontohkan adalah qiroah yang tidak muncul dari hasil ijtihad ulama. Melainkan, semua itu diterima kaum muslimin dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama secara mutawaatir. Jadi, walau berbeda-beda, tetapi tetap dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Jibril ‘alaihis salam, dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Qiroah mutawatir itu telah dihimpun oleh ulama pada masatabiut tabi’in. Mereka dikenal dengan imam qiroah yang tujuh. Cara baca Al Qur’an ini mereka terima dariTabi’in, tabi’in menerima dari sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan sahabat menerima dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama.
Kedua, Para ulama menerima Al Qur’an dengan metode yang hati-hati. Mereka menerima bacaan secara talaqi –pembicaraan melalui tatap muka- dari para hufadz yang
memiliki jalur periwayatan yang bersambung. Dengan begitu, teks
bukanlah satu-satunya sandaran dalam membaca. Sandaran utama dalam
membaca Al Qur’an di samping teks adalah hafalan yang diwariskan dari
guru ke murid.
Pada masa awal, umat islam hanya belajar secara talaqqi dengan guru yang menerima Al Qur’an dengan sanad yang kuat dan bersambung kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama (bahkan sampai sekarang masih ada ulama yang memiliki sanad qiroah yang bersambung sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam). Mereka juga hanya belajar pada ulama yang kapabilitasnya diakui dalam qiroah, yang memiliki sanad baik, kewara’an, dan keakuratan tinggi. Pada awalnya mushhaf tidak dijual. Mushhaf hanya bisa didapat oleh seorang murid ketika dia belajar kepada seorang qori’ yang memiliki sanad bersambung sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama dan
dia menyelesaikan hafalannya di depan sang guru. Kemudian setelah
bacaannya mantap, dia akan dinyatakan lulus, kemudian akan beralih untuk
mempelajari tsaqofah islam yang lain, seperti hadits dan fiqh. Tapi,
belajar Al Qur’an bukanlah satu-satunya menu pertama bagi ulama awal.
Menu pertama mereka yang lain adalah bahasa Arab yang mereka pelajari
sejak kecil di suku-suku pedalaman Arab (seperti yang dilakukan oleh
imam kita, Al Imam As-Syafi’iy rahimahullah, dll). Sehingga, mereka tidak menemui banyak kesulitan ketika mempelajari Al Qur’an, dengan mufrodat, I’rab, dan tashrifnya.
Wallohu a’lam
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Robb
pemilik langit dan bumi yang telah menjaga kitab-Nya yang sempurna,
sehingga dapat menerangi umat manusia menuju kerihoannya dan menjadi
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga sholawat dan salam
senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya,
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari
kiamat kelak
Abu Muhammad
Palembang, 1 Robi’uts-Tsani 1434 H / 11 Februari 2013
Rabu, 23 September 2015
Alam Barzakh
"Berkata kubur kepada
mayat ketika diletakkan di dalamnya, 'Celaka engkau
wahai anak Adam! Apakah gerangan yang menjadikanmu
melupakan aku? Tidakkah engkau tahu bahwa sesungguhnya
aku adalah rumah fitnah, rumah kegelapan, rumah
kesendirian, rumah cacing? Apakah gerangan yang
menjadikanmu lupa dari mengingat aku ketika engkau
melewati aku sambil bersuara keras?' Ketika seseorang
tersebut orang baik, maka ada yang menjawab dari ucapan
kubur tersebut, 'Tidakkah engkau tahu bahwa ia (mayit)
adalah seseorang yang selalu mengajak kebaikan dan
mencegah kemunkaran?1 Maka kubur pun berkata, 'Jika
demikian, aku akan berubah menjadi kebun hijau'." (HR.
Ibnu Abid Dunya/Dhaif).
Nasukh dan Mansukh
Oleh Ustadz Muslim Al-Atsari
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah ra berkata, “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang; Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an, atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa), atau orang dungu yang memaksakan diri.”
Imam Ibnul Qayyim berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) nasikh dan mansukh terkadang adalah menghapuskan hukum sekaligus. Dan ini merupakan istilah mutaakhirin, dan terkadang adalah menghapus penunjukkan dalil ‘am, muthlaq, zhahir, dan lainnya. Kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbih (mengingatkan).
Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
Penunjukkan Adanya Naskh dalam Syari’atPerlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil NaqlFirman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah: 106).
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas.
Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS An Nahl: 101).
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"
Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’.”
Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”
Macam-Macam Naskh
Pertama, macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1.000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: "Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Anfal: 66).
Abdullah bin Abbas berkata, "Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (QS Al-Anfal: 66). Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi), kesabaran pun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka.” (HR Bukhari).
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya TetapAl-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi.
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah, Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang tua (maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan LafazhnyaContoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata, "Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan “Lima kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an." (HR Muslim).
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.
Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara ringkas—ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’anJenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal.
Contoh lain firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13)
2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.”
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah: "Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain Allah." (QS Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khaibar.
3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an
Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)
4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah
Contoh, sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim)
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya. Wallahua'lam. Demikian, semoga bermanfaat.
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah ra berkata, “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang; Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an, atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa), atau orang dungu yang memaksakan diri.”
Imam Ibnul Qayyim berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) nasikh dan mansukh terkadang adalah menghapuskan hukum sekaligus. Dan ini merupakan istilah mutaakhirin, dan terkadang adalah menghapus penunjukkan dalil ‘am, muthlaq, zhahir, dan lainnya. Kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbih (mengingatkan).
Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
Penunjukkan Adanya Naskh dalam Syari’atPerlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil NaqlFirman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah: 106).
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas.
Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS An Nahl: 101).
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"
Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’.”
Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”
Macam-Macam Naskh
Pertama, macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1.000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: "Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Anfal: 66).
Abdullah bin Abbas berkata, "Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (QS Al-Anfal: 66). Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi), kesabaran pun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka.” (HR Bukhari).
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya TetapAl-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi.
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah, Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang tua (maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan LafazhnyaContoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata, "Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan “Lima kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an." (HR Muslim).
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.
Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara ringkas—ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’anJenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal.
Contoh lain firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13)
2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.”
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah: "Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain Allah." (QS Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khaibar.
3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an
Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)
4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah
Contoh, sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim)
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya. Wallahua'lam. Demikian, semoga bermanfaat.
Pihak yang berhak menegakkan hukuman adalah penguasa/pemerintah.
Pihak yang berhak menegakkan hukuman hadd hanyalah imam (khalifah) atau wakilnya. Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallamlah yang menegakkan hukum hadd semasa hidupnya, demikian juga para khalifah setelahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan pelaksanaan hukum hadd. Sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجَمْهَا. “Pergilah wahai Unais untuk menemui wanita tersebut, apabila ia mengaku (berzina), maka rajamlah ia.” [11]
Haram Membunuh Diri
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29
Haram Membunuh Sesama Muslim
Dari Usamah bin Zaid r.a. berkata: Rasulullah saw mengutus kami ke Huraqah pada suku Juhainah maka ketika kami sampai disana, pagi-pagi kami menyerbu. Tiba-tiba aku dan seorang Anshar bertemu dengan seorang dari mereka. Maka ketika kami telah mengepungnya, ia berkata, "LAA ILAAHA ILLALLAAH." Maka sahabatku orang Anshar itu menyuruh aku menghentikan (tidak membunuhnya) tetapi aku terus saja menikam dengan tombakku sehingga matilah dia. Dan ketika kami telah kembali ke Madinah, berita itu telah sampai kepada Rasulullah saw maka beliau bertanya, "Hai Usamah, apakah engkau bunuh dia setelah ia mengucapkan 'LAA ILAAHA ILLALLAAH'?" Jawabku, "Ya Rasulullah, ia hanya akan menyelamatkan diri." Rasulullah saw bertanya, "Apakah engkau bunuh dia setelah ia mengucapkan 'LAA ILAAHA ILLALLAAH'?" Maka Rasulullah saw mengulang-ulang kalimat itu, sehingga aku ingin andaikan aku baru masuk Islam pada hari itu.(Bukhari - Muslim)
Terpelihara
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr : 9)
Senin, 21 September 2015
Islam Jami'
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168). Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Tadabbur Perjalanan Nabi Musa as dan Nabi Khidir as
Yang baik bagi manusia belum tentu baik di mata ALLAH SWT (Ilmu manusia terbatas, ilmu ALLAH SWT luas tak terbatas)... Manusia harus beristiqomah dan berendah diri (tawadhu) di hadapan ALLAH SWT (berserah diri) dalam hidup ini, karena ALLAH SWT yang Maha Mengetahui rahasia langit dan bumi... Wallahu'alam
Ar Rohman
ALLAH SWT: Maha Raja yang Maha Pemurah lagi Maha Kaya, Maha Mulia, Maha Adil, nan Maha Bijaksana... Wallahu'alam
Berdakwah Fi Sabilillah
"Barangsiapa mengajak kepada sebuah petunjuk (hidayah), maka ia dapat
pahala yang setara dengan pahala semua orang yang mengikuti petunjuk
itu, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan (sebaliknya)
barangsiapa mengajak kepada suatu kesesatan, maka ia akan menanggung
dosa yang serupa dengan dosa setiap orang yang mengikuti kesesatan itu,
dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun" (HR. Muslim dari Abu
Hurairah ra.)
"Barangsiapa menunjukkan (orang lain) pada sebuah kebaikan, maka ia akan mendapat pahala seperti pahala pelaku kebaikan itu" (HR. Muslim dari Ibnu Mas'ud ra.).
"Barangsiapa mempelopori sebuah kebiasaan yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan (pahala lain serupa dengan) pahala semua orang yang ikut mengamalkannya sesudahnya, dengan tanpa mengurangi pahala bagian mereka sedikitpun. Dan (sebaliknya) barangsiapa mempelopori sebuah kebiasaan buruk di dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan (dosa lain setara dengan) dosa orang-orang yang ikut mengamalkannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun" (HR. Muslim).
"Barangsiapa menunjukkan (orang lain) pada sebuah kebaikan, maka ia akan mendapat pahala seperti pahala pelaku kebaikan itu" (HR. Muslim dari Ibnu Mas'ud ra.).
"Barangsiapa mempelopori sebuah kebiasaan yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan (pahala lain serupa dengan) pahala semua orang yang ikut mengamalkannya sesudahnya, dengan tanpa mengurangi pahala bagian mereka sedikitpun. Dan (sebaliknya) barangsiapa mempelopori sebuah kebiasaan buruk di dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan (dosa lain setara dengan) dosa orang-orang yang ikut mengamalkannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun" (HR. Muslim).
Langganan:
Postingan (Atom)